Ahad 26 Aug 2018 02:06 WIB

'Garuda di Dadaku, Ringgit di Perutku’

Sembako tetap dari diimpor dari Malaysia, jalanan tetap rusak, ringgit tetap berjaya.

Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
Foto: Friska Yolandha
Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan melihat wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bersama salah satu BUMN, saya mendatangi perbatasan di kepala Pulau Kalimantan, tepatnya di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Untuk mencapai lokasi tersebut, dari Jakarta kami berangkat menuju Tarakan. Dari Tarakan, saya dan undangan lainnya menggunakan moda transportasi kapal cepat alias speedboat.

Dalam pikiran saya, perbatasan sebuah negara akan seperti di film-film perang, ada pagar berkawat dengan pos jaga yang berisi tentara-tentara  bersenjata laras panjang. Setiap orang yang melintas akan ditanyai surat  izin alias paspor. Nyatanya, perbatasan Indonesia-Malaysia di Sebatik hanya sebatas batu dan bendera. Di beberapa tempat bahkan hanya ranting yang dipasangi bendera kecil.

Salah satu titik yang kami kunjungi adalah tapal batas yang dinamai Pos 3. Pos 3 adalah salah satu titik jaga perbatasan yang ramai dikunjungi. Di sini, perbatasan dua negara dipenuhi rumah warga. Bahkan, ada rumah warga yang ruang tamunya berada di Indonesia, sementara dapur dan kamar mandinya di tanah Malaysia.

Yang menarik, di pulau ini ada dua mata uang yang dipakai, yaitu rupiah dan ringgit. Saat jajan di salah satu warung, saya bisa memilih ingin membayar pakai ringgit atau rupiah.

Saya membeli kopi botolan dengan uang Rp 20 ribu. Dalam rupiah, kopi itu dijual seharga Rp 10 ribu. Namun, saya minta kembalian pakai ringgit. Ibu penjaga warung menyerahkan dua lembar uang satu ringgit Malaysia dan satu keping koin lima sen. Dengan kurs Rp 3.700 per satu ringgit, saya memperoleh kembalian Rp 9.250.

Saya bertanya, bagaimana caranya mengecek perubahan kurs setiap hari? Saya saja yang diminta mengecek dolar AS setiap hari kadang jenuh. Ibu yang dipanggil Nur Hiyah itu mengatakan selalu ada informasi kurs dari mulut ke mulut. Kalau tidak, kursnya dikira-kira saja, toh perubahannya tidak signifikan.

Wah, kalau Bank Indonesia (BI) sampai tahu, warga di sini bisa dimarahi.  Rupiah kan satu-satunya alat pembayaran yang sah di NKRI.

Warga setempat tidak punya pilihan lain. Mereka terpaksa memakai ringgit karena pasokan barang lebih banyak berasal dari Malaysia ketimbang Indonesia sehingga transaksi dengan ringgit tak dapat dielakkan. "Lebih mudah mengambil barang dari Malaysia daripada ambil ke Nunukan," ujar Nur Hiyah.

Malaysia yang hanya selemparan batu dari rumah mereka memiliki akses lebih baik ke kota. Dengan kapal, mereka hanya butuh waktu tidak sampai sejam menuju kota terdekat. Sementara, warga Sebatik harus menempuh waktu berjam-jam untuk sampai ke Tarakan atau Nunukan.

Barang yang datang dari Malaysia beragam, kebanyakan kebutuhan pokok seperti beras, gula, mi instan, makanan ringan hingga tabung gas. Produksi dalam negeri diakui Nur Hiyah ada, tapi tak sebanyak produk Malaysia.

Hal itu saya buktikan dengan sulitnya menemukan tabung gas Pertamina. Sementara itu, tabung gas milik Petronas bertebaran dimana-mana.

"Gas Pertamina datang sepekan sekali. Itupun kalau ada, tidak sampai sehari langsung habis," ujar Babe, sopir kami selama di Sebatik.

Penggunaan ringgit tak hanya soal perut, tapi juga jasa. Banyak anak-anak Pulau Sebatik lahir di Tawau, sebuah kota di Sabah, Malaysia. Bayar dokternya? Pakai ringgit. Alasannya? Jarak!

Sebagai sebuah kecamatan, Sebatik tidak memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kalau terjadi komplikasi pada kehamilan, puskesmas setempat memberikan dua pilihan rujukan, ke Nunukan atau Tawau. Kebanyakan, masyarakat Sebatik memilih numpang lahir di Tawau daripada ke Nunukan karena aksesnya yang mudah. "Kalau ke Nunukan jaraknya jauh, keburu melahirkan di perjalanan," kata Rahmatang, warga Sebatik yang melahirkan anaknya di Tawau.

Warga Sebatik mengaku sudah banyak menerima kunjungan pejabat, dari yang penting sampai yang penting sekali. Namun, tidak banyak perubahan yang dirasakan warga. Sembako tetap dari diimpor dari Malaysia, jalanan tetap rusak, ringgit tetap berjaya.

Pekerjaan rumah pemerintah di daerah terdepan, terluar, dan terisolir masih banyak. Tugas yang paling utama adalah membuka akses dan membangun infrastruktur dasar agar masyarakat tak perlu membawa uang ke luar negeri. Membangun perbatasan memang tidak sebentar, tapi setidaknya, harus menjadi prioritas. Mereka sama berhaknya merasakan fasilitas yang kita dapatkan di kota besar.

Kepada Babe, saya iseng bertanya, dia lebih memilih menjadi warga Indonesia atau Malaysia. "Garuda di dadaku, ringgit di perutku," jawabnya.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement