Kamis 23 Aug 2018 16:46 WIB

BMKG Peringatkan Potensi Kebakaran Hutan Tinggi

Titik panas meningkat signifikan di wilayah Kalimantan dan Sumatra.

Rep: Ali Mansur/ Red: Nur Aini
Ilustrasi Kebakaran Hutan
Foto: Antara
Ilustrasi Kebakaran Hutan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan jumlah titik panas (hotspot) meningkat seiring semakin meluasnya pengaruh musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia. Pengaruh musim kemarau meluas ke wilayah Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi.

Sebelumnya BMKG memprediksi pengaruh musim kemarau yang berlangsung Agustus- September hanya mencakup sebagian besar Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Wilayah yang cukup signifikan mengalami peningkatan titik panas yaitu Kalimantan Barat (798 titik), Kalimantan Tengah (226 titik), Jambi (19 titik) dan Sumatra Selatan (13 titik).

"Informasi titik panas tersebut dianalisis oleh BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN). Peningkatan jumlah titik panas ini, menurutnya diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar," ungkap Dwikorita dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (23/8).

Kondisi tersebut dinilai perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar. Oleh karena itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah, Instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan, dan kekurangan air bersih.

"Yang perlu diwaspadai adalah dampak paparan kabut asap jika sampai terbakar karena sangat berpotensi menganggu kesehatan," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal menerangkan hasil monitoring yang dilakukan BMKG menunjukkan hingga pertengahan Agustus 2018 hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau yaitu sebanyak 95,03 persen. Sedangkan sisanya 4.97 persen masih mengalami musim hujan. Adapun musim kemarau diprediksikan akan berlangsung hingga akhir Oktober 2018.

Herizal memaparkan, pantauan BMKG terhadap deret hari tanpa hujan sebagai indikator kekeringan meteorologis awal menunjukkan, deret hari tanpa hujan (HTH) kategori sangat panjang (31-60 hari) hingga ekstrem (>60 hari) umumnya terjadi sebagian besar di Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Namun, di beberapa daerah sudah terpantau terdapat jeda hari hujan. Di sebagian Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, pengaruh meluasnya musim kemarau itu juga ditunjukkan oleh munculnya beberapa daerah yang telah mengalami HTH kategori menengah (11-20 hari) hingga panjang (21-30  hari).

"Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang memicu kejadian kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara."

"Jumlah hotspot di Kalimantan Barat sendiri mengalami peningkatan 17.6 persen dibandingkan pekan lalu," tuturnya.

Awal pekan ini, pantauan alat kualitas udara di Stasiun Klimatologi Mempawah menunjukkan konsentrasi Particulate Matter (PM10) tertinggi sebesar 356.93 µg/m3 yang artinya masuk dalam kategori berbahaya. Pengamatan jarak pandang mendatar (visibility maksimum) tercatat kurang dari 100 meter.

BMKG memprediksi kondisi tersebut akan relatif berkurang dalam waktu beberapa hari kedepan. Namun demikian, kata Herizal, tetap diperlukan kewaspadaan dan langkah antisipatif untuk meminimalisasi dampak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement