Sabtu 11 Aug 2018 23:54 WIB

BNPB Minta Anak Korban Gempa tak Diberikan Susu Formula

Pemberian sufor pascagempa Bantul menyebabkan peningkatan diare bayi

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Bayi yang lahir saat gempa Muhammad Gempa Rizki.
Foto: Twitter PMI
Bayi yang lahir saat gempa Muhammad Gempa Rizki.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korban gempa Lombok yang terus terjadi sejak Ahad (5/8) terus bertambah. Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total pengungsi terbaru ada 387.067 jiwa.

Ratusan ribu pengungsi ini memerlukan banyak bantuan, termasuk kebutuhan dasar. Sulitnya akses menuju lokasi pemgungsian menjadi salah satu halangan untuk membagikan bantuan.

Dari ratusan pengungsi, tidak sedikit korban adalah bayi dan anak-anak. Mereka memerlukan perlakuan khusus selama mengungsi.

"Bayi dan anak-anak termasuk kelompok rentan bersama dengan ibu hamil, lansia dan disabilitas. Mereka perlu mendapat perlakukan khusus karena rentan selama di pengungsian," ujar Kepala pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis yang didapat Republika.co.id, Sabtu (11/8).

Hingga saat ini belum ada data pasti berapa jumlah bayi dan anak-anak dari 387.067 jiwa pengungsi yang ada. Tetapi diperkirakan totalnya mencapai puluhan ribu jiwa.

Data sementara di Kabupaten Lombok Utara terdapat 1.991 jiwa balita berusia nol sampai lima tahun dan 2.641 jiwa anak-anak berusia enam sampai sebelas tahun.

Pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan balita tidak dapat dilakukan sembarangan selama berada di pengungsian. Bagi ibu dan bayi yang masih menyusui harus mendapat perhatian.

Air susu ibu merupakan makanan yang paling sempurna bagi bayi. Menyusui dalam kondisi darurat harus terus dilakukan oleh ibu kepada balitanya.

"Kebutuhan ini tidak bisa digantikan dengan susu formula. Sebab terbatasnya sarana untuk penyiapan susu formula, seperti air bersih, alat memasak, botol steril dan lainnya sangat terbatas di pengungsian. Bahkan pemberian susu formula akan meningkatkan risiko terjadinya diare, kekurangan gizi dan kematian bayi," lanjut Sutopo.

Dalam beberapa pengalaman saat terjadi bencana, susu formula dan susu bubuk adalah bantuan umum diberikan dalam keadaan darurat. Sayangnya, produk-produk tersebut seringkali dibagikan tanpa kontrol yang baik dan dikonsumsi oleh bayi dan anak-anak yang seharusnya masih harus disusui.

Akibatnya, kasus-kasus penyakit diare di kalangan bayi usia di bawah enam bulan yang menerima bantuan susu formula dua kali lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak menerima bantuan itu.

"Unicef dan WHO sebagai Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengingatkan bahaya pemberian susu formula di pengungsian. Banyak kasus saat bencana di dunia, pemberian susu formula kepada balita dan anak-anak justru meningkatkan penderita sakit dan kematian," ujarnya.

Di Indonesia, kasus pascabencana gempa di Bantul Yogyakarta bisa dijadikan pelajaran. Pemberian susu formula kala itu justru meningkatkan terjadinya diare pada anak di bawah usia dua tahun. Di mana ternyata 25 persen dari penderita itu meminum susu formula.

BNPB pun berharap tidak ada donasi susu formula dan produk bayi lainnya seperti botol, dot, empeng tanpa persetujuan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota setempat. Ibu yang menyusui anaknya harus diberikan dukungan dan bantuan praktis untuk meneruskan menyusui. Mereka tidak boleh sembarang diberikan bantuan susu formula dan susu bubuk.

 // Zahrotul Oktaviani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement