Ahad 12 Aug 2018 10:30 WIB

Agar Timnas Indonesia tak Redup di Level Senior

Pesepak bola yang unggul bukan hanya sekadar dilahirkan atau memiliki bakat alam.

Endro Yuwanto
Foto: Republika/Daan Yahya
Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Wahyu, seorang anak yang berasal dari desa bernama Langitan di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, tak pernah bermimpi bisa bermain bola bersama idolanya. Kelihaiannya menggiring si kulit bundar di lereng Bromo ternyata membawa anak pasangan Pak Darto dan Bu Darto itu mengarungi mimpi-mimpi indahnya.

Takdir membawa Wahyu mengikuti try out di klub Persema Malang yang diperkuat oleh pemain timnas Indonesia kala itu, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Walau jalan sebelum itu sangat terjal dan berliku, kecintaan Wahyu pada sepak bola tidak bisa dibendung lagi.

Dimulai dari pertandingan antarkampung sampai tingkat kabupaten, Wahyu menjalani hari-harinya bermain bola. Walau mendapat larangan keras dari sang ayah, Wahyu tidak pernah menyerah untuk mencetak gol dan bisa menjadi pemain bola terkenal.

Wahyu bukanlah tokoh nyata, ia hanyalah tokoh rekaan dalam film Tendangan dari Langit yang disutradarai Hanung Bramantyo pada 2011 silam. Namun di dunia nyata, sosok-sosok mirip Wahyu sebenarnya selalu bertebaran di Nusantara.

Masih di seputaran Jawa Timur, ada sosok bernama Evan Dimas yang berasal dari keluarga kurang mampu di Ngemplak, Surabaya. Ayahnya, Condro Darmono, hanya seorang satpam. Sedangkan ibunya, Ana, pernah menjadi pembantu rumah tangga.

Seperti halnya Wahyu, lantaran kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan, untuk membeli sepatu bola saja Evan hanya bisa menahan rasa iri. Dalam impitan ekonomi, kedua orang tuanya tetap memberikan dukungan yang maksimal agar Evan bisa terus bermain sepak bola.

Karena impitan ekonomi pula, terkadang untuk membeli kaus kaki saja Evan sampai berpikir ulang bagaimana cara meminta kepada Ana. Sang ibu bahkan sampai berpatungan dengan saudara-saudaranya untuk membelikan Evan yang lahir pada 13 Maret 1995 itu sepasang sepatu sepak bola.

Sepatu sepak bola pertama Evan bermerek Diadora, harganya kala itu cuma Rp 15 ribu. Lantaran sepatu Evan terlalu besar, ia harus memasukkan kain agar bisa pas. Umur sepatu itu tidak lama, kira-kira tiga pekan karena sepatunya sangat murah sehingga cepat rusak. Namun, Evan tak patah semangat untuk terus berlatih di lapangan hijau.

Tak sampai tujuh tahun kemudian atau sejak pertengahan September 2003, nama Evan akhirnya dikenal luas. Ia adalah kapten timnas Indonesia U-19 yang mengantarkan timnya juara Piala AFF U-19 2013. Saat ini Evan pun membela klub Malaysia, Selangor FC. Jerih payah Evan yang kini membela timnas Indonesia U-23 ke Asian Games 2018 untuk terus menggeluti si kulit bundar mulai menemui titik terang.

Mochammad Supriadi yang membela timnas Indonesia U-16 di Piala AFF U-16 2018 juga memiliki kisah mirip Evan Dimas. Mungkin namanya belum setenar Amiruddin Bagus Kahfi Alfikri yang telah mencetak 12 gol di perhelatan Piala AFF U-16 2018, tetapi perannya di lapangan sangat vital. Ia juga menjadi bagian sukses timnas Indonesia U-16 yang menjuarai Piala AFF U-16 2018 setelah menekuk Thailand di final pekan ini.

photo
Pemain tengah Indonesia Evan Dimas Darmono melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang Myanmar pada laga perebutan tempat ke-3 SEA Games 2017 Kuala Lumpur di Stadium Selayang, Malaysia, Selasa (29/8).

Sama seperti Evan, Supriadi merupakan pemuda 16 tahun yang lahir di Surabaya. Ia terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Seperti tokoh Wahyu di film Tendangan dari Langit, ia pun sempat tak mendapat restu dari sang ayah untuk menekuni si kulit bundar.

Namun, tekat kuat Supriadi dalam menata karier sepak bola mendapat dukungan dari ibunda Supriadi, Kalsum. Meski Kalsum hanya bekerja sebagai pedagang nasi di lapangan Rungkut FC, ia rela menggunakan segala cara demi sang anak berkembang di dunia sepak bola.

Sebelum menjadi pemain timnas Indonesia U-16, untuk membeli sepatu saja, pemain yang kerap mengikuti tarkam bersama Rungkut FC ini harus menyisihkan uang saku sekolah sebanyak Rp 2 ribu per hari. Setelah 15 hari, Supriadi akan membuka celengannya dan membeli sepatu bola yang harganya Rp 30 ribu. Meski sepatu dengan harga demikian cepat rusak, ia tetap mengenakannya karena tak sanggup membeli sepatu bola yang memadai.

photo
Pesepak bola Indonesia U-16 Mochammad Supriadi (tengah) berusaha melewati pesepak bola Vietnam U-16 Ho Van Cuong (kiri) dan Ngo Thanh Tai (kanan) dalam laga penyisihan grup A Piala AFF U-16 di Gelora Delta Sidoarjo, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (2/8)

Seperti dalam film Tendangan dari Langit, Indonesia seolah tak akan pernah kehabisan bibit-bibit muda. Kalimat tersebut bukan sekadar isapan jempol. Fakta di lapangan memang demikian adanya.

Tak perlu heran ketika ada anak-anak Indonesia meraih sukses dan tampil apik di turnamen internasional, semisal Milan Junior Camp Day ataupun Danone Nations Cup. Jangan heran juga ketika timnas level junior meraih gelar juara di turnamen regional, seperti HKJC International Youth Invitational di Hong Kong, Tien Phong di Vietnam, dan Jenesys di Jepang.

Namun, bibit-bibit muda di timnas U-16 dan era Evan bisa saja kelak layu sebelum berkembang dan ini bukan kali pertama terjadi. Karena itu, tak ada salahnya membiarkan mereka berkembang tanpa tekanan dan publikasi yang berlebihan. Biarkan saja adik-adik belia ini menikmati sepak bola hingga pada waktunya mencapai level yang diharapkan.

PSSI, sebagai induk cabang olahraga sepak bola di Tanah Air, seyogianya terus ambil bagian dalam pembinaan pemain usia dini yang menjadi sebuah keniscayaan. Jangan pula melupakan kompetisi usia dini di Indonesia yang terbilang masih minim. Penyebab buruknya prestasi sepak bola Indonesia selama ini bisa ditujukan pada PSSI sebagai pemegang otoritas pembinaan sepak bola Indonesia yang kerap abai.

Pembinaan adalah fondasi timnas senior dan di Indonesia pembinaan tidak berjalan dengan baik dan sistematis. Alhasil, kegilaan rakyat Indonesia pada sepak bola dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak tidak akan menghasilkan apa-apa.

Sudah menjadi rahasia umum, prestasi timnas Indonesia ketika memasuki usia senior alias matang sebagai pesepak bola justru melempem. Tengok saja kisah timnas Primavera era Kurniawan Dwi Julianto dan timnas Baretti era Uston Nawawi. Langkah instan menjurus panik pun dilakukan. Menaturalisasi puluhan pemain asing adalah salah satu contoh bentuk kepanikan itu.

Bibit-bibit muda, tunas-tunas yang menjanjikan, atau talenta-talenta unggul, hanya akan menjadi hebat dengan perawatan yang baik pula. Bibit yang bagus, jika tidak pernah mendapat pupuk atau perawatan, tentu akan menuai hasil yang tak memuaskan.

Potensi pemain muda Indonesia yang sebenarnya dan sejujurnya luar biasa pada akhirnya menguap. Hal ini dikarenakan pemain sepak bola yang unggul bukan hanya dilahirkan alias memiliki bakat alam, sebagaimana begitu banyak pemain di Indonesia. Namun juga diciptakan melalui latihan yang berkualitas dan sistematis, pendidikan dalam hal kepribadian dan ilmu pengetahuan, serta kompetisi dan turnamen yang dilakukan dengan konsisten, jujur, dan sportif.

Jika PSSI bermimpi kelak akan memanen jangan sampai lupa untuk terus menanam.

*) Wartawan Republika.co.id

(Modifikasi tulisan penulis di suplemen Republika, Tabloid Rekor, 21 September 2013)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement