Kamis 09 Aug 2018 07:40 WIB

Agama Sebagai Realitas Historis (1)

Kitab Suci Alquran mengandung banyak aspek substansi kehidupan.

Azyumardi Azra
Foto:

Dengan sifat mujmal-nya, ayat-ayat dalam bidang tertentu, seperti kalam, ibadah, muamalah, dan seterusnya dengan tetap berpegang pada prinsip dasar ajarannya, juga dapat ditafsirkan terus-menerus untuk menjawab tantangan dunia yang terus berubah. Di sinilah terletak universalitas Alquran, yang berlaku untuk sepanjang zaman dan tempat.

Namun, ajaran-ajaran universal Alquran perlu perincian dan elaborasi yang bersifat partikular. Hal ini terkait dengan akidah, ibadah, dan muamalah yang diimani dan dilaksanakan penganut Islam. Perincian dan elaborasi itu bersifat teknis, yang dalam kajian dan ilmu Islam disebut ‘fiqh’ yang juga berarti ‘ketentuan hukum-hukum syariah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara perinci’.

Dalam bahasa birokrasi pemerintahan dan swasta sekarang, fiqh dapat disebut semacam ‘protap’ (prosedur tetap) atau SOP (standard operating procedure) atau ‘petunjuk pelaksanaan’ (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Bila ayat Alquran (atau syariah) sebagai dalil dasar fiqh bersifat tetap atau tidak berubah, fiqh dapat berkembang guna menjawab masalah baru yang memerlukan juklak dan juknis.

Dengan demikian, ‘syariah’ (ayat-ayat Alquran) tidak berubah, sebaliknya fiqh berkembang sesuai kebutuhan. Salah satu contoh paling jelas sekarang adalah mengenai ekonomi Islam atau perbankan Islam. Ayat-ayat Alquran mengenai ekonomi, bisnis, dan perdagangan hanya berbicara mujmal; berbagai ketentuan perinci tentang perbankan Islam atau takaful adalah fiqh sebagai hasil ijtihad ulama.

Pada tahap dan proses ini, Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran bersentuhan dengan realitas historis—dalam contoh di atas terkait ekonomi, bisnis, atau perdagangan yang menghasilkan fiqh perbankan Islam atau takaful. Realitas historis, sosiologis, dan ekonomi menjadi pertimbangan penting untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Namun, dalam merumuskan fiqh sering terjadi perbedaan makna di kalangan ulama tentang kata atau istilah tertentu dalam ayat Alquran. Perbedaan itu terjadi karena latar belakang ilmu yang berbeda; kecenderungan intelektual berbeda; ranah sosialisasi berbeda; lingkungan sosial-kultural yang berbeda; bahkan juga realitas politik berbeda. Perbedaan-perbedaan ini menghasilkan mazhab fiqh yang berbeda. Dalam prinsip-prinsip dasar mereka sepakat, tetapi dalam perincian (furu’) masing-masing mazhab fiqh itu mengandung perbedaan (khilafiyah) tertentu.

Di sini Islam itu satu hanya dalam ayat-ayat Alquran sebelum ditafsirkan para ulama, misalnya dengan menggunakan ayat-ayat lain yang relevan. Atau menggunakan hadis, yang juga berbeda-beda tingkatan untuk bisa digunakan sebagai dalil hukum. Maka secara historis, adanya berbagai mazhab dan aliran dalam fiqh, kalam, tasawuf, dan bahkan ekonomi merupakan keniscayaan.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement