REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pemerintah daerah cenderung lebih banyak mengeluarkan ongkos birokrasi daripada menganggarkan untuk pembangunan infrastruktur di daerah. Kebiasaan ini harus dievaluasi karena tak bagus untuk pertumbuhan ekonomi.
"Teman-teman di daerah mungkin harus mengoreksi, pemerintah daerah tentu lebih banyak ongkos birokrasinya dibandingkan dengan ongkos pembangunannya atau anggaran modalnya," kata Wapres Jusuf Kalla saat memberikan pidato kunci dalam Kongres ISEI ke-20 di Bandung, Rabu malam.
Ketidakseimbangan antara anggaran belanja pegawai daerah dan pembangunan infrastruktur tersebut menyebabkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selalu meningkat setiap tahun.
Menurut Wapres, kenaikan anggaran belanja negara tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh wilayah di Tanah Air. "APBN pemerintah dalam setiap 10 tahun naik dua kali lipat. Dulu, kalau diukur (dengan) dikurangi inflasi dan macam-macam, maka pertambahannya hanya 2,5 kali. Tetapi tidak simetris dengan pertumbuhan," jelas Wapres.
Baca juga, Kepala Desa Diminta Jaga Akuntabilitas Dana Desa.
Oleh karena itu, Wapres mengatakan, kualitas anggaran pemerintah masih harus selalu diperbaiki, khususnya terkait penganggaran belanja 'ongkos internal' tersebut.
Wapres mengungkapkan, anggaran belanja pemerintah mengalami kenaikan hingga 100 persen setiap 10 tahun. Namun, kenaikan tersebut tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang baik.
Saat ini anggaran belanja pemerintah di APBN Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp 2.200 triliun. Sementara 10 tahun lalu total anggaran di APBN sekitar Rp1.000 triliun dan 20 tahun yang lalu anggaran pemerintah sekitar Rp500 triliun.
Dengan kenaikan anggaran sebesar 100 persen setiap 10 tahun tersebut, nilai pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen menjadi terasa kecil dan tidak sebanding dengan kenaikan itu.
Secara terpisah, legislator Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menyebut, pembangunan desa sebagai prioritas pemerintah. Tujuannya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan.
Jumlah anggaran desa meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2015, alokasi dana desa mencapai Rp 20,7 triliun. Jumlahnya lantas naik pada 2016 menjadi Rp 46,98 triliun.
“Tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 Triliun, dan tahun 2018 lebih kurang Rp 61 triliun," kata dia dalam workshop bertema Evaluasi Implementasi Sistem Tatakelola Keuangan Desa dengan Aplikasi Siskeudes.
Menurutnya, kepala desa harus memahami bagaimana sistem pelaporan, sistem akuntabilitas dan bagaimana mereka menyusun rancangan anggaran dengan baik.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu pun berjanji untuk terus memperjuangkan penambahan alokasi dana desa, terutama bagi daerah pemilihannya di Jawa Timur II yang meliputi Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo dan Kota Probolinggo.
Misbakhun mengaku sudah menyampaikan hal itu secara langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Waktu bertemu Bu Menkeu, saya sampaikan bahwa dana desa khusus untuk dapil Jatim II bisa ditambah. Tugas saya bagaimana dana desa meningkat di daerah pemilihan saya," katanya yang memastikan adanya komitmen pemerintahan Presiden Jokowi dalam menerapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.