Rabu 08 Aug 2018 08:05 WIB

Saat Amerika Ancam Indonesia

Indonesia mengakui posisi Amerika Serikat dalam ekonomi dunia memang kuat.

Perang dagang AS vs Indonesia
Foto: republika
Perang dagang AS vs Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Intan Pratiwi, Melisa Riska Putri

Amerika Serikat (AS) mendesak World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia menjatuhkan sanksi dagang kepada Pemerintah Indonesia. AS mengusulkan sanksi berupa denda sebesar 350 juta dolar AS (sekitar Rp 5 triliun).

Ancaman denda untuk Indonesia terkuak dalam dokumen WTO yang dipublikasikan pada Senin (6/8). Seperti dikutip dari Reuters, AS dan Selandia Baru sebelumnya memenangkan gugatan perselisihan dagang terkait pembatasan impor produk-produk pertanian dan peternakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

AS dan Selandia Baru mempermasalahkan pembatasan impor yang dilakukan Indonesia terhadap beberapa komoditas, seperti apel, anggur, bawang bunga, jus, serta ayam dan sapi. Pemerintah Indonesia sempat mengajukan banding, tetapi dinyatakan kalah pada akhir 2017.

Pemerintah Indonesia dianggap tidak menjalankan keputusan WTO karena tetap melakukan pembatasan produk impor dari kedua negara tersebut.

Nominal denda yang diminta AS berdasarkan estimasi kerugian Negeri Paman Sam pada tahun lalu atas pembatasan impor oleh Indonesia. "Jumlah ini berdasarkan analisis data awal pada 2017 untuk beberapa produk. Sementara diperkirakan mencapai 350 juta dolar AS," demikian laporan WTO.

Jumlah denda berpotensi bertambah karena AS akan melakukan penghitungan ulang jumlah kerugian setiap tahunnya.

Meski juga menjadi pihak yang memenangkan gugatan terhadap Indonesia, sejauh ini Selandia Baru belum meminta penjatuhan sanksi kepada Indonesia. Diperkirakan, Selandia Baru merugi sebesar 673 dolar AS akibat adanya pembatasan ekspor daging sapi mereka.

Pemerintah masih mempelajari dokumen WTO terkait permintaan sanksi dagang dari AS. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menjelaskan, sanksi tersebut belum diputuskan karena ada beberapa prosedur yang harus dilakukan.

"Sembari menunggu ini, kami akan pelajari dulu apakah nanti mekanismenya akan dialog terlebih dahulu atau seperti apa," kata Oke, Selasa (7/8).

Oke enggan berspekulasi mengenai dampak dari adanya ancaman sanksi. Namun, ujar dia, Indonesia memang harus membayar denda sesuai jumlah yang ditentukan apabila sanksi ditetapkan.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengubah peraturan-peraturan yang selama ini dirasa merugikan hubungan perdagangan AS dan Indonesia, termasuk Peraturan Kementerian Perdagangan dan Peraturan Kementerian Pertanian.

"Mereka mungkin belum puas dengan itu," ucap Oke.

Oke berharap WTO dapat menjadi penengah dengan menyampaikan upaya perbaikan persoalan perdagangan kepada Amerika. Terlebih, Indonesia telah menyelesaikan perubahan dalam jangka waktu delapan bulan, sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan AS.

Atas rekomendasi WTO, terdapat 18 ketentuan dalam permendag dan permentan yang harus diubah terkait aturan soal impor produk hortikultura dan hewan.

Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Bambang Prijambodo mengatakan, pemerintah akan mengupayakan diplomasi. Menurut dia, diplomasi perdagangan merupakan cara paling efektif untuk mengamankan kepentingan Indonesia dalam peta ekonomi Amerika.

"Kita juga bisa mengajukan alasan tertentu ke WTO karena WTO pasti berbicara dengan kita," ujar Bambang.

Menurut dia, langkah diplomasi bisa saja dilakukan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Bahkan, para pelaku usaha di sektor yang terkena dampak juga mungkin turut diajak dalam berdiplomasi untuk menemukan jalan keluar.

Bambang mengakui, posisi AS dalam ekonomi dunia memang besar. Oleh karena itu, Indonesia yang dipandang sebagai negara kecil lebih mengutamakan jalur diplomasi perdagangan. "Beda halnya kalau kita memiliki posisi yang sama kuat," kata dia.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih, menganjurkan pemerintah untuk segera melakukan lobi ke AS setelah mengkaji publikasi WTO. Ia cemas dampak dari sanksi ini menimbulkan efek jangka panjang. Sebab, AS saat ini seperti sedang mencari “mangsa” untuk menetapkan biaya masuk produk impor seperti yang diterapkan ke Cina.

Lana menilai Indonesia tidak dapat menghindar membayar denda apabila sudah ada ketetapan. Oleh karena itu, lobi harus dilakukan pemerintah. "Kita harus ke sana untuk memastikan bahwa setelah bayar denda sudah tidak ada lagi urusan dan //clear//," ucapnya.

Menurut dia, pemerintah juga harus menawarkan timbal balik saat melakukan lobi. Selain itu, Indonesia juga perlu mengajak beberapa figur di Tanah Air yang dekat dengan Presiden AS Donald Trump.

Pengamat dari UI, Fithra Faisal, mengatakan, pelarangan masuknya produk impor tertentu memang tidak sesuai dengan komitmen perdagangan internasional. Dia menyebut ada banyak negara yang juga menggugat Indonesia terkait hal ini. "Tindakan proteksi yang berlebihan tentunya sebuah hal yang tidak sesuai dengan pakem perdagangan internasional," katanya, Selasa.

Meski begitu, ujar Fithra, semua itu bergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini, AS menilai Indonesia merugikan produk-produknya karena untuk masuk ke pasar Indonesia memerlukan tarif yang tinggi.

Sejak adanya gugatan dua tahun lalu di WTO, Indonesia seharusnya sudah menyiapkan kemungkinan terburuk. "Dalam konteks ini, harusnya Indonesia sudah mulai melakukan persiapan, misalnya menurunkan tarifnya tapi juga tetap meningkatkan kapasitas petaninya," kata Fithra.

Ia menambahkan, sikap proteksi diambil Indonesia karena petani lokal kurang berdaya saing. Kualitas produk hortikultura lokal juga masih dianggap kalah dari AS maupun Selandia Baru. Hal itu yang membuat pemerintah perlu memberikan proteksi kepada petani lokal, apalagi nilai tukar petani Indonesia juga masih tergolong rendah.

(adinda pryanka/melisa riska putri ed: satria kartika yudha)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement