Selasa 07 Aug 2018 08:03 WIB

Pertumbuhan Ekonomi yang Masih di Bawah Target APBN

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2018 sebesar 5,27 persen.

Rep: Ahmad Fikri Noor, Dessy Suciati Saputri, Dedy Darmawan Nasution/ Red: Andri Saubani
Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2018 adalah sebesar 5,27 persen (year on year/yoy). Angka itu lebih tinggi dibanding capaian pada kuartal-II 2017 yang sebesar 5,01 persen, namun masih di bawah target APBN 2018 sebesar 5,4 persen.

"Ini sesuatu yang bagus karena pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (6/8).

Berdasarkan pengeluaran, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,14 persen (yoy). Angka itu lebih baik dibandingkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal-II 2017 yang sebesar 4,95 persen (yoy). Konsumsi rumah tangga masih mendominasi struktur ekonomi dengan porsi sebesar 55,43 persen.

Menurut catatan BPS pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,14 persen pada kuartal kedua 2018 (yoy), adalah yang tertinggi sejak kuartal kedua 2014. Kala itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tumbuh 5,15 persen (yoy).

Artinya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2018 juga menjadi tingkat pertumbuhan tertinggi sejak era pemerintahan Joko Widodo. Berdasarkan data BPS, tren pertumbuhan konsumsi rumah tangga berfluktuasi sejak 2015. Akan tetapi, konsumsi rumah tangga kerap tumbuh di bawah level 5 persen.

Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,99 persen pada kuartal-I 2015, kemudian 4,97 persen pada kuartal-II 2015, 4,96 persen pada kuartal-III 2015, dan 4,92 persen pada kuartal-IV 2015. Selanjutnya, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95 persen pada kuartal-I 2016, 5,07 persen pada kuartal-II 2016, 5,01 persen pada kuartal-III 2016, dan 4,99 persen pada kuartal-IV 2016.

Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,94 persen pada kuartal-I 2017, 4,95 persen pada kuartal-II 2017, 4,93 persen pada kuartal-III 2017, dan 4,97 persen pada kuartal-IV 2017. Sementara, pada kuartal-I 2018 pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4,95 persen.

Konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2018 dengan porsi sebesar 55,43 persen. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi tumbuh 5,27 persen.

 

Adapun, kondisi Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi masih menunjukkan perkembangan positif meski mulai melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. BPS mencatat, investasi pada kuartal-II 2018 tumbuh sebesar 5,87 persen (yoy) dengan porsi pada struktur ekonomi sebesar 31,16 persen.

Angka itu masih meningkat dibandingkan pertumbuhan pada kuartal-II 2017 sebesar 5,34 persen (yoy). Meski begitu, invetasi terpantau mulai melambat dari kuartal pertama 2018 yang tumbuh sebesar 7,95 persen (yoy). 

Sementara, kinerja ekspor pada kuartal-II 2018 tumbuh sebesar 7,7 persen (yoy) dengan porsi terhadap PDB sebesar 20,35 persen. Meski begitu, impor yang menjadi faktor pengurang ekspor tumbuh jauh lebih tinggi yaitu sebesar 15,17 persen (yoy) dengan porsi terhadap PDB sebesar 20,87 persen.

photo
APBN 2018 [sumber: Kemenkeu]

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 yang sebesar 5,27 persen (yoy) di luar ekspektasi. Sri sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya akan berkisar 5,17 hingga 5,2 persen (yoy).

"Pertumbuhan ekonomi ini di atas yang kami perkirakan. Jadi ini bagus," kata Sri di Jakarta, Senin (6/8).

Ia menyoroti tingkat konsumsi yang tumbuh kuat di level 5,14 persen. Hal itu, kata Sri, berkat faktor musiman seperti Ramadhan dan Lebaran, dan juga libur panjang.

Selain itu, pemberian THR serta gaji ke-13 dari pemerintah juga disebutnya memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. "Bergesernya panen, lalu THR dan gaji ke-13 itu juga memberikan hal yang positif," tambahnya.

Meski begitu, Sri masih meyakini pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap tinggi pada semester II. Ia menyebut, sejumlah agenda penting seperti Asian Games 2018 dan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia bisa ikut mendorong konsumsi.

Kendati demikian, di sisi permintaan menurutnya justru mengalami penurunan yakni di sektor investasi. Ia menilai, sektor investasi justru tak sesuai yang ditargetkan oleh pemerintah.

"Saya melihat itu agak di bawah yang kita harapkan. Karena pertumbuhan PMTB itu 7 persen sudah tiga kuartal berturut-turut, sekarang tiba-tiba turun di bawah 6 persen," ujar Sri Mulyani.

Pemerintah jadi masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yakni memacu investasi. Tujuannya, agar pertumbuhan ekonomi yang di atas 5,2 persen tak menimbulkan komplikasi dari sisi neraca pembayaran.

"Karena kalau ekspornya terlalu lemah dan impor terlalu rendah, maka pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran," ujarnya.

Menurut dia, hal itu harus disikapi dengan hati-hati. Ia pun memperkirakan beberapa penyebab menurunnya sektor investasi.

"Apakah kemarin karena libur panjang, karena dari manufaktur juga rendah, jadi mungkin ada korelasi, trade off antara konsumsi yang jadi bagus, tapi manufaktur dan investasi agak lemah," tambah dia.

Menkeu juga akan mengantisipasi dampak depresiasi rupiah pada inflasi atau disebut juga dengan imported inflation.

"Imported inflation ini akan kita lihat di semester kedua. Tapi, kalau pemerintah tetap bisa menjaga dari sisi pasokan makanan, terutama untuk barang-barang administered price mungkin kita akan melihat inflasi tetap stabil di 3,5 persen. Selama inflasi masih bisa dijaga di 3,5 persen, kita melihat konsumsi akan cukup baik," kata Sri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,3 persen pada 2018. Meski lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2018 yang 5,4 persen, Darmin menilai tetap dibutuhkan kerja keras untuk bisa mencapai pertumbuhan 5,3 persen.

"Sekarang kan semester I 5,17 persen. Ya memang untuk 5,3 persen harus kerja keras. Kalau tidak, ya tidak sampai juga," kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Senin (6/8).

Mantan Gubernur Bank Indonesia itu tidak langsung merespons positif pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang mencapai 5,14 persen (yoy) pada kuartal II 2018. Ia menjelaskan, berdasarkan data inflasi inti, dapat tercermin dua fenomena yakni perbaikan permintaan dan juga inflasi akibat impor atau imported inflation.

Oleh karena itu, dia tidak menjamin pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap tinggi pada semester kedua 2018. Terlebih, pertumbuhan konsumsi pada kuartal II 2018 turut disebabkan faktor musiman seperti hari raya dan libur panjang.

"Nanti kita lihat dulu perjalanannya ekonomi seperti apa. Itu tidak bisa dilihat pada satu titik waktu apalagi awal-awal. Harus dilihat bergeraknya seperti apa," kata Darmin.

Selain itu, berdasarkan kelompok lapangan usaha, Darmin menyoroti pertumbuhan sektor industri manufaktur. Tercatat, industri manufaktur hanya tumbuh 3,97 persen. Padahal, sektor itu menjadi kontributor terbesar dalam struktur PDB yakni sebesar 19,83 persen.

"Sektor industri, sektornya lambat. Itu yang harus kita coba dorong terus Menteri Perindustrian," kata Darmin.

 

"Karena kalau ekspornya terlalu lemah dan impor terlalu rendah, maka pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran," Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

 

Pengaruhi IHSG dan depresiasi rupiah

Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada mengatakan, secara fundamental, adanya rilis pertumbuhan ekonomi akan positif buat pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak positif sepanjang Senin, (6/8). Bahkan, berhasil kembali menembus level 6.100.

"Tapi, di sisi lain, sentimen ini bisa jadi ajang aksi profit taking buat pelaku pasar yang memanfaatkan kenaikan IHSG," ujarnya di Jakarta, Senin, (6/8).

Peneliti Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan, depresiasi rupiah tetap akan memberikan efek negatif karena hingga saat ini belum menemukan titik keseimbangan. Efek negatif tersebut terutama dirasakan industri prioritas yang masih bergantung pada bahan baku impor, seperti industri sektor makanan minuman (mamin) dan farmasi.

“Sektor mamin 70 persen bahan baku berasal dari impor dan farmasi 90 persen impor. Ada dampak yang cukup besar akibat pelemahan rupiah,” ujar Andry kepada Republika.co.id, Ahad (5/8).

Hingga akhir pekan lalu, Jumat (3/8), Jakarta Interbank Spot Dollar (JISDOR) Bank Indonesia mencatat, rata-rata rupiah diperdagangkan sebesar Rp 14.503 per dolar AS. Andry mengatakan, semakin lemah nilai rupiah maka semakin mahal harga impor bahan baku kedua industri tersebut. Kondisi tersebut akhirnya berimbas pada melebarnya nilai impor dan memicu defisit perdagangan.

Merespons hal tersebut, pemerintah berencana untuk membatasi impor bahan baku. Andry mengatakan, kondisi sektor industri akan makin jatuh jika impor bahan baku dibatasi. Sebaiknya, pembatasan impor diarahkan pada barang-barang konsumsi yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Dia menambahkan, berdasarkan rangkuman data BPS, kurun waktu 2014 hingga kuartal pertama 2018, pertumbuhan impor barang konsumsi juga lebih cepat ketimbang impor bahan baku. “Rata-rata pertumbuhan impor barang konsumsi rata-rata 6 persen per tahun sedangkan impor bahan baku hanya 3 persen,” ujar dia.

Kondisi tersebut membuat sektor industri dan investasi diprediksi tak menopang banyak pertumbuhan ekonomi. Alhasil, kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak akan signifikan. 

“Jadi, paling penopang pertumbuhan ekonomi hanya dari konsumsi masyarakat saat momen lebaran saja,” katanya.

Meski demikian, Andry meyakini pertumbuhan konsumsi walau meningkat, tidak akan mencapai 5 persen. Sebab alokasi keuangan masyarakat diprioritaskan untuk tahun ajaran baru sekolah.

“Sepertinya sulit konsumsi bisa tumbuh di level 5 persen,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement