Jumat 03 Aug 2018 19:11 WIB

Anies, Aroma Busuk dan Kebiasaan Menghabiskan Makanan

Sekitar 54 persen sampah di DKI Jakarta merupakan sampah sisa makanan dan minuman.

Nidia Zuraya, wartawan Republika
Foto: Dok. Pribadi
Nidia Zuraya, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Kali Sentiong yang berada di belakang Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, tiba-tiba menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan di media sosial dan grup-grup diskusi di dunia maya. Bahkan, keberadaan kali yang airnya berwarna hitam pekat ini juga menarik perhatian media asing.

Warganet lebih suka menyebut Kali Sentiong dengan sebutan Kali Item. Aroma busuk yang ditimbulkan dari Kali Item membuat Pemprov DKI Jakarta menjadi 'sasaran tembak' warganet.

Bahkan, sang Gubernur Anies Baswedan kerap menjadi sasaran perundungan warganet setiap kali mereka membicarakan soal bau busuk Kali Item. Termasuk juga ketika Anies menginstruksikan untuk melakukan penutupan permukaan air sungai dengan jaring atau waring, ia menjadi bahan olok-olokan di jagad maya.

Mengenai waring ini, Channel News Asia mewartakan, upaya menyelubungi permukaan sungai dengan waring hanya menutup sumber bau, tapi tidak menyelesaikan inti masalah di Kali Item, yakni pencemaran. Laporan itu tertuang dalam artikel yang berjudul "Jakarta Covers Up 'Stinky, Toxic' River near Asian Games Village".

"Tetapi, masalah sungai beracun dan berbau tak sedap, yang berada tak jauh dari tempat tinggal para atlet, muncul di luar rencana perbaikan, sehingga pemerintah memutuskan untuk menyembunyikannya," tulis media tersebut dalam pemberitaannya pada 20 Juli 2018.

Ide untuk menutupi permukaan air Kali Item dengan waring bisa dikatakan sebagai upaya yang sia-sia. Selama air Kali Item masih tercemar, aroma busuk dari kali yang keberadaannya sudah tercatat sejak era kolonial ini tetap akan terbawa oleh embusan angin.  

 

Berkat alat milik LIPI yang bernama Lutor (LIPI Ultrafine Bubble Generator), aroma busuk Kali Item kini bisa dikurangi. Air Kali Item mengandung bakteri anaerob yang mampu hidup tanpa oksigen. Bakteri tersebut dapat tumbuh pesat karena terlalu banyaknya limbah di Kali Item.

Alat milik LIPI ini berfungsi untuk membunuh bakteri yang tidak diinginkan dengan ozon sekaligus menyemburkan oksigen dalam bentuk gelembung yang sangat kecil (nano bubble). Pemasangan Lutor ini cukup efektif untuk mengurangi aroma busuk dari Kali Item.

Warga yang bermukim di sekitar aliran Kali Item mengaku sudah tidak pernah mencium aroma busuk dari kali tersebut selama sepekan terakhir. Untuk membuktikan hal tersebut, Wapres Jusuf Kalla pada Jumat (3/8) kemarin mengajak Gubernur Anies Baswedan, Menpora Imam Nahrawi, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Wakapolri Komjen Syafruddin, dan Ketua Inasgoc Erick Thohir untuk makan pisang di pinggir bantaran Kali Item.

Pencemaran air di Kali Item sebenarnya bukan masalah yang baru muncul saat ini, melainkan merupakan masalah menahun sejak pemerintahan gubernur-gubernur DKI Jakarta sebelumnya. Persoalan pencemaran air kali atau sungai memang menjadi salah satu persoalan terbesar di wilayah DKI Jakarta sejak lama.

Aroma busuk sebenarnya tidak hanya dihasilkan oleh Kali Item. Bau tak sedap juga acapkali tercium dari sejumlah bantaran kali yang mengalir di wilayah Jakarta. Bahkan, saat melintas di sepanjang bantaran kali Banjir Kanal Timur (BKT) yang terbilang baru keberadaannya, aroma tak sedap dari air yang tercemar juga beberapa kali mengusik indera penciuman saya.

Lagi-lagi penyebabnya adalah sampah yang mencemari air kali. Kontribusi sampah terbanyak yang ada di wilayah DKI Jakarta berasal dari limbah makanan dan minuman. Sampah makanan dan minuman ini kebanyakan dari ritel, katering, dan restoran.

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta pernah merilis total sampah di wilayah ibukota ini pada tahun 2015 mencapai 2,7 juta ton atau 7.500 ton per hari. Sekitar 54 persen di antaranya adalah sampah organik, seperti sisa makanan dan minuman.

Sampah sisa makanan dan minuman ini tidak hanya dihasilkan oleh mereka yang bermukim di wilayah Jakarta, tetapi juga oleh mereka yang bermukim di wilayah pinggiran Jakarta, namun sehari-hari beraktivitas dan bekerja di wilayah DKI Jakarta.

Sebagai pekerja yang hampir sepanjang hari menghabiskan waktunya beraktivitas di wilayah Jakarta, pernahkah tebersit dalam kepala kita bahwa setiap hari kita juga turut andil dalam menyumbang 7.500 ton sampah di Jakarta? Dan, tanpa disadari kebiasaan untuk tidak menghabiskan menu makan siang secara tak langsung membuat kita turut berkontribusi terhadap makin suburnya pertumbuhan bakteri anaerob di kali-kali yang ada di Jakarta.  

Mengapa saya katakan, kita juga ikut berkontribusi dalam mencemari kali-kali di Jakarta, padahal kita tidak pernah membuang sampah ke kali? Karena, kita tidak pernah tahu apakah sisa makanan dan minuman dari menu yang kita pesan dari gerai-gerai kuliner di pusat perbelanjaan mewah hingga warung-warung tenda pinggir jalan betul-betul akan berakhir semuanya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang.

Pastinya akan ada satu, dua, atau beberapa butir nasi yang tersisa di piring kita ataupun sisa minuman jus yang tidak kita habiskan yang akan berakhir di saluran air wastafel cuci piring dan selokan-selokan di sekitar berdirinya warung tenda kuliner.  

Jika kita masih bersikap tak acuh terhadap kebiasaan menghabiskan menu makan siang kita, tentunya alat Lutor milik LIPI yang dipasang di Kali Item dan (mungkin) juga akan dipasang kali-kali lainnya di DKI Jakarta akan menjadi usaha yang sia-sia.

Sebelum membuang-buang menu makan siang, hendaknya kita mengingat lagi apa yang sudah diajarkan oleh ibu dan guru di sekolah saat kita masih usia kanak-kanak mengenai kebiasaan untuk menghabiskan makanan di piring ataupun kotak makan kita. Jika saat usia kanak-kanak saja kita bisa menjalankan kebiasaan tersebut, mengapa ketika dewasa tidak bisa melakukannya?          

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement