REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, di negara yang mayoritas merupakan muslim, ulama dianggap figur yang memiliki magnet. Sehingga menurutnya, munculnya ulama dalam kontestasi politik bukan lagi merupakan hal yang baru.
Ia mencontohkan, Gus Dur yang menjadi presiden keempat RI, dan KH Hasyim Muzadi yang menjadi wapres Megawati. Bahkan ulama juga banyak maju ke kontestasi politik di daerah, terlihat dari puluhan calon wakil daerah di Pilkada lalu.
"Kalau potensi memecah belah ulama sih menurut saya tidak ada. Kita kan sudah punya pengalaman hal itu," ujar Gun Gun kepada Republika.co.id, Jumat (3/8).
Meskipun bukan hal baru, namun ia berharap adanya kedewasaan masyarakat bahwa politik bukan soal agama. Menurutnya yang terpenting adalah track record dari ulama tersebut, jangan sampai terlalu loncat dari profesi yang dilakoninya sehari-hari.
Apalagi jabatan calon presiden (capres) dan cawapres itu atmosfirnya sangat politis. Siapapun yang menjadi calon biasanya akan sangat dihadapkan pada fenomena lazim dalam kontestasi elektoral, yaitu semua hal buruk para calon dapat muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan oleh publik secara luas.
Untuk itu, masyarakat yang menghormati para ulama ini juga harus siap. Apalagi ulama merupakan tokoh struktural tradisional, yang memang memiliki keunikan dalam basis sosiologi orang indonesia, dan di berbagai tempat dijadikan panutan.
"Kita juga harus menyadarkan pemilih bahwa ulama yang jadi cawapres itu sama seperti kandidat-kandidat dari profesi lain. Artinya dia harus punya potensi, gagasan, dan kesiapan mental, untuk berada dalam dialektika dengan pihak lain," kata Gun Gun.