Rabu 01 Aug 2018 14:58 WIB

Pertamina Dapat Blok Rokan Sehari Pascatuntutan Amien Rais

Kontrak Chevron sebagai pengelola Blok Rokan akan habis pada 2021.

Rep: Intan Pratiwi, Idealisa Masyrafina, Antara/ Red: Andri Saubani
Pemerintah Resmi memberikan kelanjutan kontrak operasi Blok Rokan kepada Pertamina. Selasa (31/7).
Foto: Republika/Intan Pratiwi
Pemerintah Resmi memberikan kelanjutan kontrak operasi Blok Rokan kepada Pertamina. Selasa (31/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan PT Pertamina akan mengambil alih operasi blok minyak Rokan, ladang minyak mentah terbesar kedua di Indonesia. Blok Rokan yang sebelumnya dikelola oleh PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) ini akan dilanjutkan pengoperasiannya oleh Pertamina setelah kontrak operasi Chevron di sana berakhir pada 2021.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan keputusan pemerintah memilih Pertamina sebagai operator di Blok Rokan karena Pertamina menawarkan penawaran komersial lebih besar kepada pemerintah dibandingkan penawaran Chevron. Arcandra mengatakan, Pertamina menawarkan signature bonus sebesar 784 dolar AS atau setara dengan Rp 11,3 Triliun.

"Pemerintah lewat menteri ESDM menetapkan pengelolaan blok rokan mulai tahun 2021 selama 20 tahun ke depan akan diberikan kepada Pertamina," ujar Arcandra di Kantor ESDM, Selasa (31/7).

Selain menawarkan signature bonus yang lebih besar daripada Chevron, Pertamina juga memberikan komitmen kerja pasti sebesar 500 juta dolar AS atau setara dengan Rp 7,2 triliun. Dengan memberikan Blok Rokan kepada Pertamina, kata Arcandra, potensi pendapatan negara selama 20 tahun mendatang bisa mencapai 57 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 825 triliun.

Pengumuman oleh pemerintah soal penyerahan operasi Blok Rokan kepada Pertamina, tepat sehari setelah Kelompok yang menamakan diri Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Blok Rokan (GRKBR) membuat petisi, "Petisi Rakyat untuk Blok Rokan". Petisi ini muncul setelah GRKBR menyelenggarakan seminar "Menuntut Pengelolaan Blok Rokan Oleh BUMN" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (30/7).

Petisi tersebut berisi tujuh poin tuntutan kepada Pemerintah Indonesia yang subtansinya menuntut pemerintah untuk menghentikan kontrak karya pengelolaan Blok Rokan dari asing. Mereka meminta Blok Rokan dialihkan kepada perusahaan negara melalui konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada petisi tersebut tercatat sebanyak 29 nama dari 29 lembaga yang menamakan diri sebagai GRKBR. Mereka antara lain, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amein Rais, Marwan Batubara (IRESS), Tjandra T Wijaya (IRESS), Mantan Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika, Ahmad Wali Radhi (BEM SI), Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Riau (Hipemari), serta BEM dari sejumlah universitas.

Amien Rais pada seminar tersebut, menyampaikan pandangan, bahwa di Indonesia saat ini tengah terjadi korporatisasi yang mengalahkan demokrasi, sehingga kepentingan korporasi melebihi kepentingan publik. "Karena itu, saya mendukung petisi ini," katanya.

Baca juga:

Profil Blok Rokan

Blok Rokan sesungguhnya adalah lapangan migas berusia tua dengan wilayah kerja seluas 6.264 kilometer (km) persegi. Lapangan Minas dan Duri di Blok Rokan bahkan sudah mulai berproduksi lebih dari separuh abad yang lalu. Saat itu, Chevron masih bernama Caltex.

Meskipun lapangan tua dan sudah melewati fase perolehan minyak primer dan sekunder, daya tarik Blok Rokan tetap kuat. Sebagai lapangan migas terbesar di Asia Tenggara, serta tingkat produksi yang tetap bersinar selama puluhan tahun, wajar Blok Rokan menjadi incaran Pertamina dan Chevron. Terbukti dua raksasa migas siap bertarung memperebutkan hak pengelolaan blok tersebut.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat realisasi produksi minyak siap jual (lifting) Blok Rokan per Maret 2018, mencapai 212 ribu barel minyak per hari (bph). Dengan produksi sebesar itu, Blok Rokan mendominasi pasokan produksi minyak RI.

Kemampuan produksi Blok Rokan yang mumpuni saat ini ditopang oleh penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan Duri, sumur minyak terbesar blok tersebut. Teknologi ini terbukti ampuh dalam meningkatkan produksi dan memperpanjang usia produktif lapangan-lapangan minyak tua.

Metode EOR yang dipakai di Duri adalah injeksi uap (steamflood). Teknologi ini membuat produksi Lapangan Duri lima kali lebih banyak dibandingkan dengan teknologi konvensional. Chevron mengklaim penerapan injeksi uap di lapangan Duri merupakan yang pertama di Indonesia dan salah satu yang terbesar di dunia.

Teknologi injeksi uap telah diaplikasikan di Duri sejak 1985 untuk meningkatkan produksi minyak berat (heavy oil) dari lapangan tersebut. Seorang ahli teknik perminyakan yang bekerja di proyek Duri, Ilmy Razanindra, menjelaskan karakteristik minyak Duri sangat kental dan tingkat kepekatannya yang tinggi.

Sifat kental dan pekat tersebut membuat cadangan minyak di dalam sumur Duri sulit dialirkan dan diangkat ke permukaan reservoir dengan teknologi konvensional. Penggunaan injeksi uap akan memudahkan pengambilan minyak kental tersebut.

"Di Duri, uap disuntikkan dekat dengan dasar reservoir melalui sumur injeksi. Uap air naik ke permukaan reservoir. Uap mengalirkan panas ke minyak berat dingin, mengurangi tingkat kekentalan sehingga minyak dapat lebih mudah bergerak untuk dialirkan ke sumur-sumur produksi," ujar Razanindra.

Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam mengatakan Pertamina bersyukur bisa mendapatkan hak pengelolaan Blok Rokan sampai dua puluh tahun mendatang. Syamsu menjelaskan, langkah yang akan dilakukan Pertamina untuk Blok Rokan adalah meningkatkan produksi dengan teknologi EOR atau teknologi pengurasan minyak.

Syamsu menjelaskan ada beberapa sumur di Blok Rokan yang masih belum memasuki tahap eksplorasi. Dengan teknologi, tersebut Pertamina bisa meningkatkan produksi dengan menambah sumur cadangan untuk bisa diproduksi.

"Di awal pengelolaan kita fokus mengelola lapangan yang selama ini belum jadi fokus, termasuk eksplorasi reservoir lebih dalam replacement-nya ada beberapa lapisan yang kita identifikasi tapi masih perlu eksplorasi," ujar Syamsu saat dihubungi wartawan, Selasa (31/7).

Syamsu mengatakan, Pertamina memperkirakan belanja modal di Rokan akan mencapai sekitar 70 miliar dolar AS selama 20 tahun masa kontraknya. "Ada beberapa peluang di sana untuk mengoptimalkan beberapa bidang," kata Alam.

Dia menambahkan, perusahaan berencana untuk menguji coba penggunaan metode pemulihan minyak kimia yang ditingkatkan di Rokan dari 2024. Dia juga mengatakan, Pertamina pada awalnya akan fokus pada mengelola ladang yang tidak difokuskan oleh Chevron, di mana potensinya cukup besar.

Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmi Radhi menilai penyerahan Blok Rokan sepenuhnya kepada Pertamina merupakan tantangan dari pemerintah agar Pertamina bisa menjaga produksi. Fahmi menilai, Pertamina dalam hal ini harus bisa menjamin bahwa produksi blok yang merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia ini tidak turun.

"Pertamina harus jamin bahwa tidak terjadi penurunan produksi, juga tidak ada pembengkakan biaya produksi dan harus efisien," ujar Fahmi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/7).

Fahmi menilai, Pertamina mampu menjaga produksi ini, mengingat kualitas SDM dan pengalaman Pertamina selama ini dalam mengelola blok migas. "Saya yakin Pertamina mampu, baik dari SDM, maupun penyediaan dana," ucapnya.

Fahmi juga menilai, untuk investasi ke depan, Pertamina bisa menggunakan skema share down. Hanya, kata Fahmi, jangan sampai peluang share down yang diberikan pemerintah membuat Pertamina tidak menjadi mayoritas di Blok Rokan.

"Namun, jangan kemudian Pertamina sudah menyatakan sanggup 100 persen, lalu share down 39 persen. Pendanaan bisa share down atau gunakan sumber pembiayaan dari perbakan dalam dan luar negeri. Dengan cadangan Rokan masih besar, lembaga keuangan akan antre untuk membiayainya," ujar Fahmi.

photo
Profil Blok Rokan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement