REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatalogi, dan Geofisika (BMKG) Pusat, Dwikorita Karnawati menyatakan, pihaknya melakukan pemantauan gempa-gempa susulan dan survei lapangan di daerah sekitar episenter sejak hari kejadian gempa.
Langkah dimaksud guna mengawal keselamatan dan menenangkan warga yang masih trauma akibat gempa bumi yang mengguncang Lombok dan Sumbawa. Selanjutnya hasil survei ini dapat terpantau langsung di lapangan bahwa kekuatan dan frekuensi (kerapatan waktu) antarkejadian gempa susulan cenderung makin melemah.
Selain itu juga dilakukan "fact finding" untuk memvalidasi hasil analisis posisi episenter dan prediksi sebaran tingkat guncangan gempa, serta korelasinya terhadap tingkat kerusakan bangunan. Hasil survei ini sangat diperlukan utk memandu penanganan lanjut terhadap kerusakan bangunan dan proses rekonstruksi/rehabilitasinya. "Terutama untuk menetapkan desain dan lokasi bangunan yang lebih tepat dan aman di kawasan rentan gempa bumi," ungkap Dwikorita dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/7).
Dwikorita menekankan pentingnya survei dan pengukuran-pengukuran magnitudo dan percepatan tanah akibat gempa-gempa susulan tersebut. Hal itu dilakukan agar kedepannya dapat membangun rumah, gedung atau infrastruktur dengan sktruktur bangunan yang tepat dan lebih kokoh di daerah rentan gempa. Sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan bangunan atau infrastruktur dan korban jiwa.
Dari hasil survei ini, kata Dwikorita, masih cukup banyak ditemukan struktur bangunan yang tidak atau kurang tepat, terutama dijumpai pada rumah-rumah yang rusak atau runtuh akibat guncangan gempabumi. "Maka diharapkan kedepannya perlu diperhatikan struktur bangunan dan pondasi bangunan yang tepat, seperti tulangan atau kolom bangunannya, serta bahan/ material bangunan yg dipakai, “imbuh Dwikorita.
Dikatakan Dwikorita, mengapa banyak bangunan yang runtuh akibat gempa bumi? Selain disebabkan dari kekuatan (magnitudo) gempa bumi itu sendiri, kedalaman dan jarak dari pusat gempa, juga sangat penting untuk memperhatikan bagaimana konstruksi bangunannya, serta kondisi batuan atau kondisi geologi setempat. Selain itu kehadiran sesar-sesar aktif (pergeseran blok atau busur batuan penyusun kulit bumi) juga berperan memicu terjadinya gempa bumi.
"Mengingat wilayah Indonesia merupakan wilayah rentan gempa bumi yang dikontrol oleh tumbukan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu lempeng Samudra Indo-Australia dari arah Selatan menunjam ke Lempeng Benua Eurasia, serta tumbukan oleh Lempeng Samudra Pasifik dari arah Timur ke Benua Eurasia," jelasnya.
Pada Senin (30/7) kemarin, Dwikorita mengatakan, Kepala BMKG bersama tim melakukan kegiatan survei ke beberapa desa. Seperti Desa Sambikelen yang merupakan salah satu desa yang mengalami kerusakan bangunan. Bahkan di salah satu RT mereka, gempa yang lalu memakan korban jiwa, salah satunya adalah keluarga Rodi dimana ayah dan salah satu anaknya tewas.
Isteri almarhum Rodi menceritakan kepada Dwikorita yang saat itu mengunjungi rumah-rumah penduduk. Dengan wajah yang masih menyimpan rasa sedih, dia menceritakan detik-detik getaran gempa bumi datang menyapa mereka. Anak mereka yang sedang tidur terlelap pun tidak sempat menyelamatkan diri, karena kejadian yang sangat pagi dan rumah mereka yang tidak kokoh sehingga sangat mudah runtuh akibat guncangan gempa bumi.
"Miris melihat kondisi mereka, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati, tetapi tidak diperhatikan konstruksi bangunan," kata Dwikorita.
Hal inilah yang menjadi renungan untuk lebih memerhatikan hal-hal yang sederhana yang selama ini mungkin terlupakan. Selama ini, masih berfikiran terkait biaya bahan baku pembangunan rumah yang terpenting dapat dihuni, tanpa memperhatikan faktor-faktor keselamatan. Kemudian dari perjalanan survei siang itu yang sangat terik, Kepala BMKG pun meninjau lima lokasi pengungsian, di berbagi tingkat RT yang menampung beberapa kepala keluarga. Berdasarkan Kepala Desa, bahwa terdapat 325 jiwa pengungsi.
"Sadarkah kita bahwa bencana alam mengintai kita? lantas apakah kita hanya “berpasrah?" tanya Dwikorita
Menurut Dwikorita, kesiapan terhadap bencana alam yang harus terus dibudayakan melalui sosialisasi dan edukasi publik secara menerus, yang disertai dengan praktik-praktik gladi siaga dan evakuasi gempa bumi. Karena itu merupakan kunci pengurangan risiko bencana gempa selain kewajiban untuk memperketat penerapan "Building Code" bangunan tahan gempa di lokasi rentan.
"Seluruh upaya mitigasi tersebut tentunya perlu dilakukan bersama oleh berbagai pihak mulai dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah, bahkan hingga tingkat desa, dengan melibatkan pihak swasta ataupun filantropi, akademisi atau endidik, peneliti, masyarakat, dan media," tutup Dwikorita.