REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Usfunan, mengatakan Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah buah dari reformasi. Aturan itu memuat batasan jabatan presiden dan wakil presiden.
"Ketentuan ini adalah buah dari reformasi, yang kalau dihapus maka tradisi pembatasan kekuasaan juga akan hilang," ujar Jimmy di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (31/7).
Hal ini dikatakan oleh Jimmy menanggapi permohonan uji materi Partai Persatuan Indonesia (Perindo) terkait masa jabatan wakil presiden. Perindo yang memohon supaya MK menyatakan frasa "tidak berturut-turut" dalam ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Kalau seandainya frasa ini hilang, maka yang menjadi persoalan adalah dari kepala daerah, wakil kepala daerah, sampai kepala desa juga tidak bisa dibatasi masa jabatannya," ujar Jimmy.
Jimmy menjelaskan pembatasan tersebut penting untuk mencegah arogansi, absolutisme, dan kesewenang-wenangan akibat adanya kekuasaan. Karena itu Jimmy bersama dengan beberapa pengajar hukum tata negara lainnya mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara ini, dan meminta kepada Mahkamah untuk menolak permohonan perkara yang diajukan Perindo.
Perindo menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu terhadap Pasal 7 UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun".
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, pemohon mendalilkan proses pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai satu pasangan terkendala dengan adanya frasa a quo. Sebab, Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.
Pemohon berpendapat frasa tersebut menjadi tidak relevan bila ditafsirkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dibatasi oleh masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk menjabat dalam jabatan yang selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Dalam dalilnya, pemohon menyebutkan seharusnya instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi, terlebih mengamputasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden. Pembatasan tidak boleh ada meski orang itu telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama sepanjang tidak berturut-turut.
Pemohon berpendapat Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama sekali tidak memberikan batasan dan bahkan mempersempit persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan mencantumkan frasa "tidak berturut-turut".
Berdasarkan uraian tersebut, pemohon menilai penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu seharusnya dimaknai belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan berturut-turut walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun.
Karena itu, pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.