REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan keinginan Partai Demokrat untuk mengajukan Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi cawapres masih terlihat. Dia menilai, AHY diajukan sebagai representasi baru dari keluarga Cikeas.
“Yang pertama kalau kita bicara dari kepentingan dan ambisi politik SBY, ini kan sebetulnya sudah terlihat, upaya untuk menjadikan AHY ini sebagai representasi baru dari dinasti Cikeas. Dan itu sudah dimulai ketika Pilgub DKI pada 2017 lalu. Walaupun sebenarnya juga ada kritik, karena terlalu terburu-buru jalannya,” ungkap Hurriyah kepada Republika, Ahad (30/7).
Tak hanya itu, menurutnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat memang melihat AHY sebagai calon pemimpin masa depan bagi partai yang pernah berkuasa pada 2004 hingga 2014 itu. Sehingga, tak heran, SBY dan Demokrat memiliki kepentingan untuk memajukan AHY.
Hurriyah berpendapat, penawaran AHY sebagai cawapres menjadi pertimbangan tersendiri bagi koalisi oposisi yang dipimpin oleh Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Sebab, saat ini menurutnya, peraturan permainan yang ada di era demokrasi elektoral, partai-partai akan patuh pada kepentingan elektoral.
“Akan sangat patuh pada hitung-hitungan elektoral. Jadi kalau hitungan elektoral itu kan, AHY akan mampu mendongkrak perolehan suara, saya pikir itu bisa saja terjadi,” ungkapnya.
Namun, di sisi lain, menurut Hurriyah, pernyataan SBY yang menyatakan ‘AHY cawapres bukan harga mati’ juga menjadi pertimbangan yang realistis bagi Partai Demokrat. Sebab, posisi Demokrat saat ini tengah melobi-lobi partai-partai kubu oposisi Pemerintah juga patut mempertimbangkan reaksi partai-partai itu.
“Artinya, ketika Demokrat tampil dan bergabung belakangan, pasti akan ada reaksi dari partai-partai yang ada di dalam koalisi. Kalau dia ngotot, misalnya ngotot harga mati tapi kemudian akhirnya ditinggalkan, tidak masuk dalam koalisi manapun, itu kan akan menjadi langkah yang merugikan secara elektoral untuk Demokrat,” jelasnya.
Sehingga, opsi berikutnya yang ada di tangan Partai Demokrat, lanjut dia, pada akhirnya Partai Demokrat harus realistis mengenai kondisi itu. Sebagai konsesi yang akan diterima Partai Demokrat bila koalisi itu menang, adalah kursi menteri.
Baca juga, Pengamat: Gerindra dan Demokrat Hampi Pastir Berkoalisi.
Pengamat politik dari LSI Denny JA, Aji Al Farabi, menilai Partai Gerindra dan Partai Demokrat hampir pasti membangun koalisi menghadapi Pemilu Presiden 2019. Gerindra dan Demokrat memiliki visi yang sama.
Aji mengatakan dari pertemuan kedua ketua umum partai tersebut, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhyono (SBY), pada 24 Juli lalu, keduanya memiliki komitmen yang sama.
“Soal penyelenggaraan Pemilu 2019, situasi nasional, serta harapan terhadap pemimpin untuk 5 tahun ke depan," kata Aji Al Farabi ketika dihubungi melalui telepon selulernya di Jakarta, Ahad (29/7).
Aji mengatakan hal itu ketika ditanya soal rencana pertemuan lanjutan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertemuan yang digelar besok itu untuk membicarakan kemungkinan koalisi serta pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung.
Menurut Aji, dari empat partai politik yang berada di luar koalisi partai pendukung Joko Widodo (Jokowi), Gerindra dan Demokrat memiliki posisi tawar lebih tinggi. Sebab, keduanya memiliki jumlah kursi di parlemen lebih banyak daripada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).