Selasa 24 Jul 2018 23:47 WIB

Kematian Ibu dan Anak di Ciamis Masih Tinggi

Keterlambatan mendapat pertolongan memberi andil tingginya angka kematian ibu anak

Rep: Rizky suryarandika/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menimbang berat badan balita saat kegiatan Posyandu balita di Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/7).
Foto: Antara/Maulana Surya
Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menimbang berat badan balita saat kegiatan Posyandu balita di Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/7).

REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS -- Fenomena kematian ibu dan anak di Kabupaten Ciamis tahun 2018 mengalami kenaikan jumlah daripada tahun sebelumnya pada periode yang sama. Dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Ciamis pada Januari sampai Juli 2018 terdapat 11 kasus, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu hanya 6 kasus.

Kepala Dinkes Kabupaten Ciamis, Engkan Iskandar menyebut kasus kematian terbagi pada masa selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas.

“Angka itu tidak mengalami perubahan signifikan setiap tahunnya. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kondisi tersebut antara lain karena terlalu muda untuk hamil, terlalu tua untuk hamil, terlalu sering hamil dan terlalu dekat jarak kehamilannya yaitu kurang dari dua tahun,” katanya pada wartawan Selasa (24/7).

Selain itu, menurutnya ada beberapa variabel yang menjadi kendala dalam sistim pelayanan rujukan. Tetapi dari sisi target memang sudah pada zona aman.

“Yang paling penting kami harus terus berupaya menjaga komitmen dan konsisten meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, baik melalui peningkatan kualitas SDM dan peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan dengan memperhatikan pola kendali mutu dan kendali biaya di setiap tingkatan Pasyankes. Hal lain yang tidak kalah pentingnya pula adalah peran masyarakat dalam kemandirian,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Ciamis, Casuli mengatakan terdapat enam penyebab utama meningkatnya angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir. Pertama, masih ada kesenjangan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yang berhubungan erat dengan kondisi ekonomi dan sosial.

Kedua, keterlambatan mendapat pertolongan pada keadaan darurat, yang berhubungan dengan lokasi kelahiran dan proses pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan tenaga ahli. Ketiga, belum memadainya pengetahuan tentang pendidikan kesehatan reproduksi.

Sedangkan penyebab keempat tentang deteksi awal dan upaya pencegahan yang belum maksimal untuk penyakit komplikasi kehamilan, seperti malaria, tuberculosis, hepatitis B, diabetes melitus, jantung, dan obesitas. Adapun peyebab kelima karena belum terpadunya data dan sistem informasi kesehatan yang berpengaruh pada pengambilan kebijakan.

Sementara keenam yaitu regulasi yang tumpang tindih dan bias gender, contohnya UU Perkawinan No.1/1974 yang mengatur usia pernikahan minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. "Dari enam penyebab tersebut, bisa menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga bisa lebih sadar akan tindakan yang bisa menyebabkan risiko kematian pada ibu dan bayi baru lahir," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement