REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohanna Yambise mengatakan, kasus perkawinan anak yang masih tinggi, akan berdampak pada masalah pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan kekokohan lembaga terkecil bangsa ini, yakni keluarga. Fakta tersebut juga menurutnya menunjukan, anak sedemikian rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi anak.
"Bullying, KDRT, pekerja anak, materi siaran TV yang tidak layak dikonsumsi, kurangnya taman bermain anak, hingga data Susenas 2017 yang menyebutkan angka perkawinan anak terus mengalami peningkatan hingga mencapai 25,7 persen," kata Yohanna saat menggelar konferensi pers di Dyandra Convention Center Surabaya, Senin (23/7).
Yohanna melanjutkan, situasi tersebut mengartikan, berbagai upaya harus dilakukan untuk meminimalkan deret pelanggaran. Negara, dalam hal ini Kemen PPPA perlu berupaya memenuhi hak anak dengan maksimal. Salah satunya dengan penguatan peran keluarga.
"Data 2017 menyebutkan, saat ini di Indonesia tercatat memiliki 69 juta keluarga yang diharapkan dapat memiliki komitmen untuk memenuhi hak-hak anak yang merupakan tanggung jawab masing-masing keluarga," ujar Yohanna.
Yohanna menegaskan keluarga berperan sangat penting dalam pemenuhan hak anak. Artinya, ada nilai investasi yang tak terkira dengan menempatkan pemenuhan hak anak sebagai prioritas dalam keluarga, untuk proses tumbuh kembangnya. Hak anak yang terpenuhi secara optimal, diyakininya akan mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
Yohanna menambahkan, upaya pemenuhan hak anak memerlukan komitmen kuat. Tidak saja dari ibu dan ayah yang bersangkutan, tetapi juga dari orang dewasa yang ada dalam keluarga tersebut. Artinya, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal jika seluruh anggota keluarga berseiringan.
"Yakni jika seluruh anggota keluarga di Indonesia memahami dan mendukung pemenuhan hak anak dalam keluarga masing-masing. Jadikan hak anak sebagai prioritas utama untuk mendukung tumbuh kembangnya,"kata Yohanna.