Jumat 20 Jul 2018 19:42 WIB

Di Depan Jokowi, Said Aqil: Angka Kemiskinan Turun, Tapi...

Masih banyak orang miskin terutama di daerah pinggiran.

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berjabat tangan dengan Sekjen Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Hanif Dhakiri (kiri) disaksikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (kanan) dan Ketua Umum Ikatan Alumni PMII Ahmad Muqowam seusai membuka munas ke-VI Ikatan Alumni PMII di Jakarta, Jumat (20/7).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berjabat tangan dengan Sekjen Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Hanif Dhakiri (kiri) disaksikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (kanan) dan Ketua Umum Ikatan Alumni PMII Ahmad Muqowam seusai membuka munas ke-VI Ikatan Alumni PMII di Jakarta, Jumat (20/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj bicara soal kemiskinan di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat acara Musyawarah Nasional VI Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII). Said memberikan catatan kepada pemerintah terkait data kemiskinan di Tanah Air.

"Kemiskinan, Alhamdulillah, kemiskinan turun satu digit, tapi yang harus kita dorong adalah keadilan distribusi," kata Said Aqil saat acara peresmian pembukaan Munas VI IKA PMII di Jakarta, Jumat (20/7).

Said mengatakan masih banyak orang miskin, terutama di daerah pinggiran seperti di daerahnya, Cirebon, Jawa Barat. Ketua PBNU ini mengatakan prinsip di NU sudah sangat jelas garisnya, dimana dari segi akidah, yakni ahlulsunnah wal jamaah dan moderat.

Sedangkan, dari segi ideologi mendukung prinsip empat Pilar Kebangsaan dan dari Qobilahnya (rombongannya) prinsip kebangsaannya jelas. "Namun ada prinsip yang menurut NU belum jelas garisnya, yakni ghaniyah atau pembagian. Yang belum jelas Pak Presiden, ghaniyah, bagi-baginya belum rata," katanya.

Said Aqil mengaku pernah menyampaikan kepada Presiden bahwa paket kebijakan yang sudah diterbitkan hingga 14 kali belum menyentuh warga NU yang paling bawah.

"Tetangga saya di Kampung Kempek, Cirebon, yang namanya Solikin, Jumadi, Madrais, Zulkifli, begitu-begitu aja, padahal sudah 14 kali kebijakan ekonomi, nggak ada yang berubah, gitu-gitu aja. Padahal sudah 14 kali Paket Kebijakan Ekonomi belum berubah. Yang berubah mungkin Jakarta," kata Said Aqil.

Ketua PBNU juga membacakan surat Alquran yang bermakna bahwa, percuma berorganisasi, bergabung dengan ormas atau bernegara baik di pemerintahan maupun DPR jika tidak membahas tiga hal. Yakni, pengentasan kemiskinan, kemakmuran rakyat, dan mempersatukan masyarakat.

Terkait kemakmuran rakyat, Said Aqil mengatakan berkaitan dengan dengan kesehatan dan lowongan pekerjaan. Dia melihat masih banyak angka kematian ibu dan anak masih sangat tinggi, gizi buruk, stunting dan kebanyakan orang NU.

"Maka itu, Allah menegaskan, sama sekali tidak ada nilai baiknya kamu bernegara, kamu berparpol, berormas, percuma itu RDP kecuali kalau yang dibahas megentaskan kemiskinan," katanya.

Ketua PBNU ini juga mengkritik kebijakan pasar bebas yang tidak berdampak baik terhadap masyarakat kecil. Terutama, pengusaha-pengusaha kecil.

"Logika pasar bebas sangat penuh dengan kezaliman. Filosofi pasar bebas semua bersaing di pasar, baik besar maupun kecil. Kita bukan anti-konglomerat, tapi konglomerat yang peduli dengan kelas menengah dan kelas bawah," katanya.

Said Aqil yakin, pemerintah bisa mengatasi program kemiskinan dan kemakmuran rakyatnya ini. Namun, untuk persatuan masyarakat dan bangsa akan banyak tantangannya, apalagi dipengaruhi oleh pesta demokrasi dan kegiatan politik.

"Ini paling berat Pak Presiden. Mensolidkan masyarakat, mensolidkan bangsa. Apalagi habis pilkada, atau akan pilkada, bagaimana menyatukan kembali, rekonsiliasi," katanya.

Dia menyebutkan, bahwa ada gesekan antara politikus dengan politikus, pedagang dengan pedagang, guru konflik dengan guru. Namun, Ketua PBNU ini mengatakan bahwa warga NU memiliki cara jitu dan murah menyatukan umat, yakni majelis dzikir, tahlilan, yang merupakan wadah mediasi.

"Kyai nggak akur dengan kyai, kyai kecil itu, kyai pinggiran. Jadi tugas paling berat," katanya.

Tingkat kemiskinan Indonesia berhasil mencapai 9,82 persen pada Maret 2018 atau turun 0,3 persen poin dari 10,12 persen pada September 2017. Tingkat kemiskinan juga turun jika dibandingkan dengan Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen.

"Jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 sebesar 25,95 juta orang. Turun 0,63 juta orang dibandingkan September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Senin (16/7).

Meski terjadi penurunan kemiskinan, Suhariyanto menyebut disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Ia menjelaskan, tingkat kemiskinan di kota adalah 7,02 persen pada Maret 2018.

Sementara, di desa adalah 13,2 persen pada Maret 2018. Sejumlah faktor mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia sejak September 2017 hingga Maret 2018.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement