REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir mengakui pernah beberapa kali bertemu Menteri Sosial Idrus Marham. Sofyan mengatakan pertemuan dengan Idrus dilakukan sembari bermain golf.
Selain di lapangan golf, Sofyan mengaku pernah bertemu dengan Idrus di DPR. Namun, Sofyan enggan membeberkan pembicaraan yang dilakukan dengan Idrus dalam setiap pertemuan tersebut.
"(Pertemuan informal sambil) main golf," kata Sofyan usai diperiksa sebagai saksi kasus suap terkait proyek pembangkit listrik milik PT PLN di Riau-1 di Gedung KPK Jakarta, Jumat (20/7).
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, untuk pemeriksaan terhadap Sofyan, penyidik mendalami pertemuan-pertemuan yang diduga dilakukan oleh saksi dengan tersangka. "Selain itu, dalam kapasitas saksi sebagai Dirut PLN, penyidik juga mendalami peran dan arahan saksi dalam hal penunjukkan Blackgold," kata Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengungkapkan bahwa pihaknya tak sembarang dalam memeriksa saksi. Menurut Saut pihaknya memeriksa saksi yang dianggap berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani.
"Kami tidak memanggil orang kalau tidak ada (kaitan) langsung ataupun tidak langsung terhadap pengembangan kasus itu," kata Saut.
Dalam kasus suap terkait proyek pembangkit listrik milik PT PLN di Riau-1 KPK menetapkan dua tersangka yakni Eni Maulani Saragih merupakan anggota komisi VII DPR RI dan pemilik saham Blackgold Natural Recourses Limited, Johanes B Kotjo.
Setelah dilakukan pemeriksaan, Eni dan Johanes Kotjo ditetapkan sebagai tersangka. Eni disangka sebagai penerima suap sementara Johanes Kotjo sebagai pemberi suap dengan nilai total Rp4,8 miliar. Johanes Kotjo merupakan pihak swasta pemegang sajam Blackgold Natural Resources Limited.
Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan, sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.