Jumat 20 Jul 2018 04:37 WIB

Ribuan Hektare Sawah Puso di Indramayu

Sistem gilir air untuk irigasi dinilai tidak dapat menyelamatkan sawah kekeringan.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Nur Aini
Sawah puso, ilustrasi
Foto: Antara/Rahmad
Sawah puso, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Ancaman puso (gagal panen) yang menghantui areal tanaman padi di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, akibat kekeringan, kini menjadi kenyataan. Ribuan hektare tanaman padi di berbagai desa di kecamatan tersebut tak bisa lagi diselamatkan.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Kandanghaur, Waryono, menyebutkan, luas areal tanaman padi yang puso di wilayah Kecamatan Kandanghaur  mencapai sekitar 2.285 hektare. Areal tersebut tersebar di Desa Karangmulya sekitar 300 hektare, Desa Wirakanan 500 hektare, Desa Wirapanjunan 270 hektare, Desa Karanganyar 540 hektare, Desa Parean Girang 325 hektare, Desa Bulak 200 hektare, dan Desa Ilir sekitar 150 hektare.

"Itu semua sudah pasti puso. Tak lagi hanya sekadar terancam,’’ kata Waryono, Kamis  (19/7).

Waryono menyebutkan, umur tanaman padi yang puso di desa-desa tersebut rata-rata berkisar antara 55 – 75 hari. Menurutnya, tanaman padi tersebut sudah memasuki masa primordial (berbulir).

Waryono pun mengaku sangat kecewa dengan sikap instansi terkait yang dinilainya bermasalah dalam melakukan manajemen tata kelola pengairan irigasi. Pasalnya, air dari Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, yang menjadi sumber utama pengairan irigasi, sebenarnya normal.

Namun kenyataannya, air dari bendung tersebut tak benar-benar sampai ke seluruh areal yang kekeringan. Akibatnya, ancaman puso tetap tak bisa dihindari.

‘’Saya sudah bilang sejak awal, semestinya penggelontoran air dilakukan untuk menyelamatkan tanaman padi. Bukan dengan gilir air,’’ tukas Waryono.

Menurut Waryono, sistem gilir air membuat penggelontoran air menjadi tidak maksimal. Pasalnya, penggelontoran air dibatasi oleh waktu meski sebenarnya lahan yang kekeringan belum terselamatkan.

Waryono menyebutkan, sistem gilir air hingga kini masih berjalan. Posisi air, sekarang ada di SW 21 Desa Rancahan, Kecamatan Gabuswetan, Kabupaten Indramayu. "Tapi buat apa ada air, percuma saja, sudah terlambat. Tanamannya sudah puso,’’ ujarnya.

 

Selain itu, kata Waryono, untuk mendatangkan air dari SW 21 ke wilayahnya juga butuh biaya operasional yang besar. Salah satunya untuk menyedot air. Selain itu, jatah air yang hanya 36 jam pun tidak akan bisa menyelamatkan seluruh areal sawah yang luasnya sekitar 3.000 hektare, terutama yang lokasinya paling ujung.

Tak hanya itu, kata Waryono, pasokan air yang minim di masa primordial seperti sekarang juga tetap tidak akan menolong. Jikapun tanaman padi selamat, tetapi bulir padinya akan kosong dan menghitam.

"Jadi ya sudah, dari pada mengeluarkan biaya dan tenaga besar untuk menyedot air tapi bulir padinya kosong, petani lebih memilih menelantarkan begitu saja tanaman padinya,’’ kata Waryono.

Wakil Ketua KTNA Kabupaten Indramayu, Sutatang, saat dikonfirmasi, menyatakan, kewenangan penetapan status puso sebenarnya ada di tangan Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Dinas Pertanian setempat. Meski demikian, dia mengakui, berdasarkan pantauannya, sejumlah areal tanaman padi di Kecamatan Kandanghaur telah mengalami puso.

"Bukan hanya di Kandanghaur, tapi juga di beberapa kecamatan lainnya juga ada yang mengalami puso,’’ tutur Sutatang.

Sutatang pun menilai, sistem gilir air tidak efektif untuk menyelamatkan tanaman padi dari kekeringan, terutama di lahan yang lokasinya paling ujung. Menurutnya, sistem gilir air hanya bisa menyelamatkan sedikit lahan di bagian depan saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement