REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, pengusungan Moeldoko sebagai calon wakil presiden Joko Widodo bakal mendapat ganjalan dari sejumlah partai koalisi. Ia menilai parpol masih akan memperjuangkan kadernya sendiri sebagai pendamping Jokowi.
“Sebagian parpol juga mencurigai Moeldoko belum bebas dari kepentingan politik Partai Hanura,” kata Said saat dihubungi Republika.co.id, Senin (16/7).
Moeldoko memang telah menyatakan mundur dari posisi wakil ketua Dewan Pembina Partai Hanura. Kendati demikian, Said menilai, langkah Moeldoko itu dipandang hanya taktik untuk memberi kesan seolah-olah dia sudah tidak lagi partisan atau anggota parpol tertentu.
“Parpol yang curiga tentu tidak rela jika 'orang Hanura' yang dapat posisi cawapres,” kata dia.
Sebab, ia mengatakan, dalam pemilihan umum serentak, parpol yang mampu mendudukan kadernya sebagai capres atau cawapres, akan memperoleh manfaat elektoral. Pada gilirannya, ini akan berdampak pada perolehan kursi di DPR.
Said menilai, kalangan elite parpol juga muncul kekhawatiran jika Moeldoko menjadi cawapres. Sebab, Moeldoko dinilai memiliki hubungan yang baik dengan Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Moeldoko menjadi panglima TNI pada 2013, ketika SBY masih menjabat sebagai presiden. Pada tingkat tertentu, koalisi menganggap, Demokrat bisa ikut diuntungkan.
“Dulu dia ditunjuk sebagai Panglima TNI oleh SBY dan bahkan dianggap sebagai loyalis SBY, sebelum akhirnya beralih ke penguasa baru, yaitu Jokowi,” ujar Said.
Dia melanjutkan, kekhawatiran berikutnya, yakni jika jadi dipilih sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019 lalu menang maka Moeldoko bisa turut memberikan ‘balas budi’ kepada SBY. “Balas budi dengan memberi ruang kepada Demokrat untuk berperan dalam pemerintahan,” kata dia.