Senin 16 Jul 2018 17:13 WIB

MA: Banyaknya PK karena Artidjo Pensiun Anggapan Keliru

Seorang hakim dilarang untuk mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar menunjukkan buku tentang dirinya saat konferensi pers di Media Center Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (25/5).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar menunjukkan buku tentang dirinya saat konferensi pers di Media Center Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi menilai, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dari para terpidana korupsi berkaitan dengan pensiunnya Artidjo Alkostar adalah anggapan keliru. Sebab, terpidana korupsi yang telah diadili oleh Artidjo tidak bisa diadili oleh dia lagi.

"Karena tidak akan mungkin dipegang oleh Pak Artidjo lagi. Jadi seorang hakim itu dilarang untuk mengadili perkara yang sama kedua kalinya. Jadi enggak akan dipegang Artidjo, pasti hakim lain. Jadi setelah atau sebelum pensiun itu enggak ada masalah," ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (16/7).

Suhadi juga menilai, MA dalam pelaksanaan proses peradilan tidak bergantung pada satu orang. Terlebih, Artidjo yang selama ini dianggap selalu memberikan vonis 'mengerikan' kepada terdakwa kasus korupsi itu mengadili perkara dalam majelis.

"Tidak ada beliau kan ada yang lain. Jadi enggak ada masalah kalau bagi MA," tambahnya.

Suhadi mengatakan, hakim mempunyai kebebasan dan independensi serta tidak bisa dipasung oleh pimpinan MA. "Jadi itu enggak bisa. Harus dihormati putusan hakim itu. Masing-masing majelis bertanggung jawab atas putusannya. Nama baik atau kredibilitas majelis dipertaruhkan di situ," katanya.

Praktisi Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengakui, sebelum Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun, para terpidana korupsi akan diadili bukan oleh Artidjo bila mengajukan PK. Sebab, hakim memang tidak boleh mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya.

Namun, papar Fickar, para terpidana korupsi itu khawatir dengan keberadaan Artidjo di MA sebagai Ketua Kamar Pidana. "Khawatir bahwa keberadaan Artidjo di MA secara tidak langsung mempengaruhi vonis-vonis pidana yang dijatuhkan termasuk vonis PK," ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (16/7).

Fickar mengatakan, dalam kondisi demikian, sangat mungkin hakim-hakim agung juga terpengaruh oleh kewibawaan Artidjo meski masing-masing hakim punya kebebasannya sendiri. Jadi, lanjut dia, bukan dalam artian para terpidana korupsi itu takut perkaranya ditangani Artidjo.

"Tapi khawatir pada kewibawaan dan pengaruh semangat Artidjo. Sangat mungkin para koruptor beranggapan Artidjo masih bisa mempengaruhi pikiran Hakim Agung lain (saat masih belum pensiun). Karena itu, setelah pensiun baru (PK) diajukan," ungkapnya.

Fickar menilai, PK dari beberapa terpidana kasus korupsi memiliki kaitan dengan pensiunnya Artidjo. Menurutnya, ini menjadi indikasi bahwa hukum di Indonesia belum bersih.

"Karena jika memang ada novum (keadaan baru), mengapa tidak diajukan jauh hari sebelum Hakim Agung Artidjo pensiun," ujar dia.

Fickar memandang, ada keyakinan dari kalangan terpidana kasus korupsi bahwa dunia peradilan tidak terlepas dari dunia bisnis. "Ini menjadi indikator bahwa dunia hukum Indonesia belum bersih-bersih amat," kata dia.

Menurut Fickar, para terpidana korupsi itu berlomba mengajukan PK karena mereka masih menguasai sumber daya. "Bahkan mungkin mereka menganggap hakim-hakim yang ada bisa dibeli. Karena itu, ini menjadi tantangan bagi Hakim Agung yang ada untuk mewujudkan komitmennya memberantas korupsi," katanya.

Diketahui, Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Artidjo, pensiun pada 22 Mei yang lalu. Seusai pensiun, beberapa terpidana korupsi mengajukan PK.

Mereka yang mengajukan PK adalah Anas Urbaningrum, Suryadharma Ali, Siti Fadilah Supari, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, Jero Wacik, dan Muhammad Sanusi. Kalangan aktivis antikorupsi menganggap ini sebagai cara mereka memanfaatkan pensiunnya Artidjo agar mendapatkan keringanan hukuman.

photo
Vonis Sangar Artidjo Alkostar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement