Senin 16 Jul 2018 04:00 WIB

Oknum Polisi dan Arogansi

Indonesia tentu tidak butuh oknum polisi yang bermental “barbar” yang “sok berkuasa”

Oknum polisi (ilustrasi)
Foto: [ist]
Oknum polisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairil Miswar,  Anggota Komunitas Steemit Indonesia dan penulis buku “Syariat dan Apa Ta‘a,” berdomisili di Bireuen, Aceh. 

 

Ada perasaan miris bercampur marah yang nyaris tak tertahan ketika saya meyaksikan sebuah video aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak kecil di sebuah market Pangkal Pinang. Video tersebut sempat viral dan beredar luas di media sosial sejak pagi tadi (13/07/2018). Dari tayangan video tersebut terekam seorang laki-laki dengan kaos bertuliskan polisi tampak menendang dan memukuli wanita yang terlihat duduk bersimpuh di lantai. Seketika emosi saya meledak. Tentu tidak hanya saya, siapa pun yang melihat video ini pasti akan terpantik emosinya, kecuali bagi mereka yang telah menanggalkan rasa kemanusiaan.

Setelah viral beberapa saat melalui media sosial, akhirnya beberapa media pun merilis kejadian ini. Dari informasi beberapa media tersebut diketahui bahwa laki-laki yang melakukan kekerasan “biadab” itu adalah oknum polisi berpangkat AKBP. Sementara korban pemukulan diduga pelaku pencurian.

Sebagai warga negara yang taat hukum tentunya kita tidak mendukung aksi pencurian yang dilakukan oleh si ibu dan anak tersebut, dan dalam waktu bersamaan. Kita pun tidak bisa membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi berpangkat perwira yang semestinya menjadi contoh bagi bawahannya.

Apa yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut tidak hanya mencoreng wajah kepolisian di negeri ini. Tetapi, juga menambah rentetan panjang arogansi oknum aparat penegak hukum terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dan diayomi. Indonesia tentu tidak butuh oknum polisi yang bermental “barbar” yang “sok berkuasa” sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya ia melakukan “penindasan” kepada masyarakat.

Kita sepakat bahwa aksi pencurian yang dilakukan oleh si ibu dan anak adalah kejahatan dan tindakan melanggar hukum. Tapi, tidak kemudian hal ini menjadi dalih bagi oknum aparat negara untuk melakukan kekerasan yang notabene juga kejahatan. Tentu akan menjadi aneh ketika di satu sisi pihak kepolisian menyerukan kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri, tetapi di sisi lain, justru oknum polisi pula yang mempraktikkan tindakan tersebut. 

Ironisnya lagi, aksi main hakim sendiri yang melibatkan oknum perwira polisi justru ditonton oleh orang-orang yang berada di lokasi kejadian. Tidak tampak satu manusia pun yang mencoba melerai aksi kekerasan tersebut. Bagaimana kita bisa tega hanya memosisikan diri sebagai penonton sementara seorang perempuan dan anak kecil dihajar di hadapan kita? Apakah ini menjadi penanda bahwa rasa peduli telah sama sekali hilang dari benak sebagian kita? Jika benar, maka kondisi ini tentunya akan semakin memberi ruang kepada kekalnya kekerasan, sebab kita lebih memilih menonton daripada mencegah.

Pascakejadian “memalukan” dan “menyedihkan” tersebut, kononnya Kapolri telah meminta oknum perwira tersebut untuk dicopot dari jabatannya. Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di negara hukum, kita memberikan apresiasi kepada Kapolri atas sikap tegas terhadap oknum bawahannya yang bersikap arogan. Namun demikian, hukum tetap harus ditegakkan di negeri ini, tidak cukup dengan mencopot yang bersangkutan dari jabatan, tapi Kapolri juga harus menghukum pelaku sesuai hukum yang berlaku di negeri ini.

Semoga saja peristiwa ini adalah yang terakhir dan tidak lagi terulang di masa depan. Saya yakin, masih banyak polisi-polisi baik di negeri ini. Jangan sampai hanya karena kelakukan oknum “kurang berpendidikan” ini justru dapat menghilangkan simpati masyarakat terhadap penegak hukum.

 

Bireuen, 13 Juli 2018

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement