Ahad 15 Jul 2018 16:40 WIB

Pernikahan Anak Kembali Terjadi, Ini Kata Menteri Yohana

Pernikahan ini melibatkan anak usia 13 dan 14 tahun

Rep: Farah Noersativa/ Red: Nidia Zuraya
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pernikahan yang melibatkan anak-anak dibawah umur kembali terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyayangkan adanya pernikahan anak-anak yang terjadi di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan yang viral di media sosial. Yohana menyebut tak akan memberikan toleransi adanya pernikahan anak di Indonesia.

“Kita tidak boleh mentolerir dan harus menolak perkawinan usia anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak,” kata Yohana dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (15/7).

Peristiwa perkawinan anak diketahui melibatkan seorang mempelai laki-laki berinisial A (13) dan mempelai perempuan berinisial I (14). Mereka telah melangsungkan perkawinan secara siri, atau tidak melalui KAU setempat.

Kementrian PPPA sendiri, kata Yohana telah melakukan pendampingan serta upaya persuasif agar setidaknya pasangan ini menunda kehamilan terlebih dahulu. Upaya ini dilakukan hingga kondisi fisik, terutama alat reproduksi dan kematangan emosional kedua anak tersebut telah siap untuk mempunyai anak, karena secara psikologis usia anak belum matang untuk membangun keluarga.

“Pemerintah meminta komitmen para pemimpin daerah serta peran para tokoh masyarakat, agama dan masyarakat pada umumnya, untuk turut mencegah perkawinan anak terjadi,” ujar Yohana.

Yohana lalu mengatakan, pihaknya juga akan memberikan upaya pendampingan dan juga pemantauan terhadap pasangan tersebut. Hal itu guna mencegah kemungkinan adanya kekerasan rumah tangga atau perceraian.

Selain itu, pihaknya akan memastikan hak-hak anak kepada pasangan tersebut tetap terpenuhil. Disebutkan, hak-hak anak itu seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan perkawinan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

“Masyarakat perlu disadarkan akan resiko yang akan dihadapi anak bila mengalami perkawinan anak. Adapun resiko tersebut antara lain melahirkan anak stunting, ketidakstabilan ekonomi, putus sekolah, rentan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian hingga bahaya kematian pada ibu yang melahirkan terlalu muda,” jelas Menteri Yohana.

Pihaknya, Yohana juga menambahkan, akan terus mendorong revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan, kata dia, harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak terus terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement