Kamis 12 Jul 2018 02:00 WIB

Prabowo Butuh Cawapres yang Bisa Dongkrak Elektabilitas

Pengamat menilai duet Prabowo-Gatot rawan diserang isu militerisme

Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing (kanan) dalam diskusi di Jakarta, Jumat (14/11).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing (kanan) dalam diskusi di Jakarta, Jumat (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai sosok calon wakil presiden (cawapres) yang tepat untuk mendampingi Prabowo Subianto, adalah kalangan ekonom, ilmuwan, teknokrat atau santri. Ia mengatakan koalisi parpol pendukung Prabowo harus bisa menemukan figur yang bisa menandingi elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) pejawat.

"Prabowo belum pernah jadi Presiden. Kita belum tahu titik lemah beliau dalam hal apa dalam memimpin. Berbeda misalnya beliau sudah pernah memimpin, titik lemahnya di bidang ekonomi  misalnya kemudian di periode berikutnya butuh pasangan ekonom," ujarnya, Rabu (11/7).

Emrus melanjutkan, yang terpenting Prabowo dan parpol koalisi pendukung harus berpasangan dengan figur yang bisa mendongkrak elektabilitasnya di Pilpres. Sebab saat ini, berdasarkan hasil survei beberapa lembaga elektabilitas Jokowi jauh mengungguli Prabowo.

"Jadi tim Prabowo harus lebih seriuslah mengkaji segala plus minus sehingga bisa memilih calon wakil yang terbaik dari yang ada. Butuh pengkajian yang mendalam dan komprehensif," katanya.

Terkait kemungkinan Prabowo berduet dengan Gatot Nurmantyo di Pilpres, Emrus menilai latar belakang kedua tokoh tersebut rawan menjadi titik lemah yang bisa dimanfaatkan lawan. "Itu akan mudah dilawan oleh siapa pun nanti pesaingnya. Akan muncul isu militer, bahkan bisa diisukan militerisasi. Jadi saya pikir pemasangan ini sangat tidak produktif untuk bertarung di 2019," jelasnya.

Emrus pun menyarankan agar parpol pendukung tidak terlalu percaya begitu saja dengan hasil survei. Seperti dalam survei LSI Denny JA yang mengatakan jika Prabowo berduet dengan Gatot, maka pasangan ini mampu mendapatkan elektabilitas 35,6 persen. Sementara jika dipasangkan dengan Anies Baswedan, elektabilitasnya di angka 19,6 persen.

Emrus menjelaskan, hasil survei LSI tidak bisa dijadikan tolok ukur mutlak, sebab hal itu adalah potret sesaat. Selain itu, tingkat elektabilitas Prabowo-Gatot di angka 35 persen masih rawan untuk bisa dijadikan dasar pasangan itu maju di Pilpres mendatang.

"Rawan dalam pengertian belum aman. Secara statistik, baru itu aman bila sudah di kisaran 70 persen. Artinya andainya elektabilitas Prabowo-GN mencapai 70 persen dibandingkan dengan simulasi calon lain, baru kita katakan sebagai penantang yang kuat bagi Jokowi," katanya.

Sebelumnya, peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby mengatakan duet militer di calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di pilpres 2019, ternyata tidak menjadi persoalan di para pendukung kubu lawan Jokowi. Hal ini terlihat dari hasil survei capres-cawapres LSI Denny JA terbaru pasca pilkada serentak kemarin.

"Munculnya nama Prabowo-AHY yang sama-sama militer, dari survei ternyata tidak terlalu dikhawatirkan pendukung lawan Jokowi," kata Alfaraby kepada wartawan, Selasa (11/7).

Hal ini merujuk survei terbaru pada 28 Juni-5 Juli 2018, bagi pendukung lawan Jokowi menunjukkan Prabowo-Gatot masih tertinggi di angka 35,6 persen. Angka ini jauh unggul bila duet yang dimunculkan Prabowo-Anies di angka 19,6 persen atau Prabowo-Aher 10,2 persen. Walaupun ketika dipasangkan duet militer lain, seperti Prabowo-AHY angka survei yang didapat cukup kecil 12,3 persen.

"Tapi Prabowo berpasangan dengan Gatot adalah pasangan yang paling kuat untuk melawan Jokowi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement