Rabu 11 Jul 2018 13:12 WIB

KPK Amankan Bukti Dokumen Proyek dan Dana Otsus Aceh

Barang bukti memperkuat perkara yang sedang ditangani.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat akan menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/7).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat akan menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mendalami informasi yang didapatkan terkait dengan perkara dugaan suap pengerjaan proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOK) Aceh 2018. Pada Selasa  (10/7) kemarin, penyidik KPK mengamankan sejumlah bukti-bukti baru setelah melakukan penggeledahan di beberapa tempat.

"KPK kembali mengamankan sejumlah dokumen proyek dan DOK dari lokasi penggeledahan di kantor dinas PUPR Aceh, kantor bupati, dan kantor dinas PUPR di Bener Meriah kemarin Selasa, 10 Juli 2018," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (11/7).

Sedangkan, dari penggeledahan di Dispora, disita barang bukti elektronik. Penyidik, kata Febri, memandang sejumlah bukti baru ini akan memperkuat perkara yang sedang ditangani.

KPK sebelumnya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOK Aceh tahun anggaran 2018. Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah nonaktif Ahmadi, serta seorang pengusaha T Saiful Bahri.

Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOKA dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota. Pada tahun ini, Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar Rp 8,03 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018.

KPK menjerat Irwandi, Hendri, dan Syaiful sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan, Ahmadi sebagai pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement