REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris menilai, partai politik yang mengklaim paling banyak meraih kemenangan di pilkada serentak adalah kesalahan. Sebab dalam pilkada serentak 2018, tidak ada satupun parpol yang bisa mengusung sendiri pasangan calon kepala daerah.
"Apabila paslon tersebut tidak diusung satu parpol saja, maka mereka tidak berhak mengklaim kemenangan," ujarnya di Jakarta, Senin (2/7).
Syamsuddin melanjutkan berdasarkan data, tidak ada pasangan calon yang hanya diusung satu partai politik, melainkan koalisi. Menurutnya hal ini berarti yang menang dalam Pilkada bukanlah partai, melainkan calon itu sendiri. "Oleh karena itu, tidak ada satupun parpol yang berhak menyebut dirinya menang," katanya.
Ia menambahkan, sementara kekhawatiran akan munculnya mobilisasi massa berbasis isu SARA tidak begitu muncul dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Meski sempat ada dugaan muncul di dua atau tiga wilayah, secara umum Syamsuddin menilainya tidak begitu mengkhawatirkan.
"Kecemasan bahwa Pilkada Jakarta akan mengalami replikasi di tempat lain tidak terjadi," ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Alfitra Salamm melihat, ada evaluasi lain yang juga harus diperhatikan dari pelaksanaan Pilkada kemarin, yakni terkait ketidaksesuaian aspirasi rakyat dengan partai. Proses pencalonan yang terlalu tersentralisasi di pusat atau melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) justru kadang kala mengganggu masyarakat.
Alfitra mengatakan, banyak calon dipaksakan DPP yang tidak dapat diterima masyarakat. Pasangan calon di sejumlah daerah kalah karena kejadian ini. Sebagai solusi, ia menganjurkan agar adanya pembagian wewenang antara DPP dengan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). "Untuk bupati dan walikota, diserahkan ke DPD, tapi untuk tingkat gubernur bisa dilakukan DPP," tuturnya.
Dengan pembagian wewenang ini, DPP dan DPD bisa semakin fokus dalam memilih tokoh-tokoh yang akan maju dalam kontestasi. Kondisi sekarang, Alfitra menambahkan, DPP terlalu mengambil banyak peran sehingga tidak fokus dan berpotensi mengganggu kualitas calon kepala daerah.