Sabtu 30 Jun 2018 19:24 WIB

Bawaslu Nilai Sistem Noken di Papua Harus Dievaluasi

Evaluasi sistem noken khususnya di 14 kabupaten wilayah Pegunungan Tengah.

[ilustrasi] Petugas KPU Mimika menyortir buku panduan, formulir isian dan kotak suara Pilkada Papua di Gedung Eme Neme Yauware, Timika, Papua, Sabtu (23/6).
Foto: Antara/Spedy Paereng
[ilustrasi] Petugas KPU Mimika menyortir buku panduan, formulir isian dan kotak suara Pilkada Papua di Gedung Eme Neme Yauware, Timika, Papua, Sabtu (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Komisioner Bawaslu Provinsi Papua Jamaluddin berpandangan perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penerapan sistem noken dalam pemilu di Papua. Evaluasi, khususnya di 14 kabupaten wilayah Pegunungan Tengah.

Jamaluddin yang baru tiga hari dilantik sebagai komisioner Bawaslu Provinsi Papua itu mengatakan, penerapan sistem noken dalam penyelenggaraan pemilu di wilayah Pegunungan Tengah Papua terbukti banyak memantik permasalahan. Seperti, terjadinya konflik horizontal antarkelompok warga.

"Menurut kami perlu ada evaluasi penggunaan sistem noken baik karena landasan hukumnya masih perlu dilengkapi tetapi juga mengingat banyaknya konflik yang terjadi di Papua selama penyelenggaraan Pemilu, terutama Pilkada," kata Jamaluddin.

Sistem noken merupakan kearifan lokal dalam pemilu di Papua. Namun, hal itu belum secara menyeluruh mewakili hak suara rakyat dalam menentukan calon pemimpin daerah.

Sistem noken memakai keterwakilan lewat kuasa para kepala kampung atau kepala suku. Sehingga, potensi suara yang ada di masyarakat berpeluang dihilangkan dan sudah pasti ada yang tidak bisa menyalurkan haknya sesuai pilihan hati.

Jamaluddin mengatakan, sesuai Putusan Nomor 47-81 Mahkamah Konstitusi Tahun 2009, penerapan sistem noken dalam Pemilu di Papua hanya diberlakukan pada 14 kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah (wilayah adat Laa-Pago dan Mee-Pago) dengan syarat jika masyarakat belum memahami pemungutan suara melalui sistem pencoblosan dan juga karena pertimbangan kesulitan geografis. Seharusnya, pascaterbitnya Putusan MK Nomor 47-81 Tahun 2009 itu diikuti dengan amandemen Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu.

"Namun kenyataan yang terjadi sampai sekarang, semenjak 2009 itu tidak ada satupun Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan yang diperlakukan secara khusus di daerah yang khusus (Papua diberlakukan Otonomi Khusus)," ujarnya.

"Justru sistem noken itu malah diatur dengan PKPU Nomor 1 Tahun 2013 saat Pemilihan Gubernur Papua dan PKPU Nomor 10 Tahun 2017. Secara hukum tata negara, ada satu jenjang peraturan yang dilangkahi," sambung Jamaluddin.

Ia berharap kondisi itu perlu disikapi secara bersama oleh Pemerintah bersama DPR RI agar ke depan penerapan sistem noken dalam Pemilu di Papua diatur dengan UU agar kearifan lokal yang perlu dilestarikan tersebut perlu diatur lebih baik lagi. Di luar dari 14 kabupaten wilayah Pegunungan Tengah Papua, katanya, belum ada aturan atau pertimbangan hukum untuk diterapkan sistem noken dalam penyelenggaraan Pemilu, entah Pemilu Legislatif, Pemilu Kepala Daerah maupun Pemilu Presiden.

Namun, fakta lapangan menemukan ada banyak daerah di luar 14 kabupaten wilayah Pegunungan Tengah Papua itu juga menerapkan sistem serupa seperti sistem ikat suara atau sistem bungkus suara. Lantaran, masyarakat setempat memandang bahwa sistem tersebut juga diakui oleh Putusan MK Nomor 47-81 Tahun 2009.

"Sekarang ini menurut kami penerapan sistem noken sudah dilakukan secara serampangan. Seperti halnya di Mamberamo Raya yang masuk wilayah adat Tabi, sistem noken juga diberlakukan karena menurut mereka itu bagian dari sistem noken yang diakui oleh putusan MK. Makanya hal ini perlu dilakukan evaluasi menyeluruh," kata Jamaluddin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement