REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengapresiasi kerja keras para penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah. Terutama KPUD dan Bawaslu Daerah, jajaran Pemerintah Daerah, aparat keamanan penegak hukum (POLRI dan TNI) dan masyarakat yang telah menyelenggarakan dan mensukseskan Pilkada Serentak 2018.
Tiga provinsi yang diindikasi menjadi daerah rawan konflik, yaitu Papua, Maluku dan Kalimantan Barat ternyata berjalan dengan aman.”Alhamdulillah Indonesia aman, saya bangga kepada masyarakat yang telah bahu membahu untuk mengangkat nilai kebangsaan, persatuan dan nilai demokrasi,” ujar Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang (OSO) dalam dalam siaran persnya, Jumat (29/6).
Dalam pilkada serentak lalu, seluruh anggota DPD RI ikut mengawasi pelaksanaan pilkada di 17 Provinsi, 39 Kota dan 113 Kabupaten. Menurut OSO, dalam penyelenggaraannya pasti ada kekurangan, namun jangan sampai menimbulkan keributan.
Pihak yang kalah dan menang harus menerima hasil pemilihan dengan baik. “Kalau betul-betul bermasalah, ada proses hukumnya. Rugi daerahnya kalau ditunda-tunda. Saya apresiasi yang terjadi di Jawa Barat, calon yang kalah datang ke yang menang,” ungkap OSO.
Di kesempatan yang sama Ketua Komite I DPD RI, Akhmad Muqowam menilai permasalahan pilkada serentak tahun 2018 harus segera diperbaiki kedepannya. Menurutnya permasalahan mendasar dalam sebuah pilkada adalah mengenai data pemilih. Masih adanya masalah terkait data pemilih dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KPU menjadi masalah yang belum terselesaikan sejak awal pilkada serentak.
“Misalnya dalam hal konektivitas antara penduduk dan pemilih. Penduduk menjadi kewenangan Kemendagri, pemilih menjadi kewenangan KPU. Hari ni masih ada problem dengan e-KTP, masih ada problem dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada yang punya KTP tetapi tidak ada dalam DPT. Ada dalam DPT, tetapi tidak punya KTP-el,” ucapnya.
Terkait masalah tersebut, Senator Jawa Tengah ini mengatakan bahwa harus dicarikan adanya sistem manajemen dalam pendataan pemilih dalam sebuah pilkada. Menurutnya data pemilih harus dipegang dan dikelola oleh satu instansi terkait dalam pilkada. Apakah dari Kemendagri ataupun dari KPU. Dimana data tersebut digunakan sebagai dasar dalam penentuan data dan jumlah pemilih.
“Sehingga ada pemikiran bahwa satu saja sebagai penyedia data pemilih, apakah Kemendagri silahkan atau KPU silahkan. Sehingga tidak saling bola-bola. Kalau misal ada di Kemendagri, maka apa yang ada di Kemendagri, maka KPU tidak boleh mengkoreksi. Kalau ada di KPU, Kemendagri tidak boleh mengkoreksi. Jangan dua-duanya mengkoreksi seperti sekarang ini,” imbuhnya.