REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA dan Release and Discharge (R&D) yang diterbitkan dalam rangka penyelesaian perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kebijakan negara yang dilakukan secara sah, final, dan mengikat. Hal itu memberikan dasar kepastian hukum bagi proses penuntasan pengembalian aset negara. Konsekuensinya adalah pejabat negara tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, sepanjang kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan MSAA tersebut, yang berlaku sebagai perjanjian induk.
“MSAA dan R&D merupakan dokumen yang sah, final, dan mengikat. Tak bisa dicabut atau direvisi sembarangan. Keduanya memberikan dasar kepastian hukum bagi penyelesaian BLBI, terutama yang berkaitan dengan proses pengembalian aset negara dari para debitur,” kata Direktur Indonesia Advocacy and Public Policy (IAPP) Amriadi Pasaribu kepada wartawan di Jakarta, Jumat (29/6).
Pernyataan itu disampaikan berkaitan dengan fakta dan keterangan yang muncul pada persidangan perkara BLBI dengan terdakwa Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004, Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (28/6).
Tiga saksi yang hadir yakni Menteri Keuangan periode 23 Mei 1998 - 20 Oktober 1999 Bambang Subianto, serta Ketua BPPN periode 1998-2000, Glenn Muhammad Surya Yusuf dan wakilnya, Farid Harianto, semuanya mengakui terdapat kebijakan negara berupa MSAA dan R&D yang diterbitkan bagi debitur Sjamsul Nursalim dalam kapasitas sebagai pengendali saham Bank Dagang Negara Indonesia/BDNI). MSAA diterbitkan pada 21 September 1998, sedangkan R&D pada 25 Mei 1999.
“R&D adalah bagian tidak terpisahkan dari MSAA. Yaitu surat yang menyatakan bahwa (debitur) telah menyelesaikan kewajiban dan mendapatkan pembebasan sesuai MSAA. Final closing. Artinya sudah selesai. Dalam dokumen MSAA, disebut closing,” kata Bambang.
Menurut Bambang, MSAA dan R&D berasal dari usulan BPPN. Dia menegaskan, terdapat pula dua dokumen berupa liquidity support release dan shareholder loans release yang mengacu kepada MSAA.
Adapun Glenn menegaskan kepercayaan (good faith) terhadap Sjamsul Nursalim adalah dasar dikeluarkannya MSAA dan R&D. “Kita ada good faith kepada Sjamsul Nursalim,” kata Glenn.
Menurut Glenn, dalam MSAA Sjamsul Nursalim menjamin dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Sedangkan yang berkaitan dengan kredit para petambak Dipasena, pihak yang menjamin adalah dua perusahaan, yaitu PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Kemudian hari, dalam penyelesaiannya bersama BPPN, dibentuk perusahaan induk bernama PT Tunas Sepadan Investama (TDI).
Berdasarkan fakta persidangan, muncul keterangan bahwa kewajiban BDNI adalah sebesar Rp 47 triliun. Neraca BDNI per 21 Agustus 1998 menunjukkan aset lancar yang diserahkan kepada BPPN sebesar Rp 18,8 triliun, sehingga terdapat sisa kewajiban sebesar Rp 28,2 triliun yang diselesaikan dengan cara penyerahan aset berupa uang tunai Rp 1 triliun, saham-saham perusahaan Dipasena, Gajah Tunggal, dan sebagainya.
Sekadar catatan, dalam MSAA terdapat ketentuan tentang misrepresentasi yang terjadi bilamana terdapat perbedaan antara MSAA dan kenyataan faktual di lapangan. Kendati demikian, kebijakan MSAA dan R&D itu tidak bisa direvisi atau dicabut sembarangan, melainkan harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, pemerintah termasuk BPPN dan menteri keuangan menegaskan, perjanjian MSAA-BDNI telah selesai pada 25 Mei 1999 dan juga telah diperkuat oleh hasil audit investigasi BPK pada 31 Mei 2002 yang menyatakan MSAA-BDNI telah selesai.