REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengamati adanya material panas di permukaan kawah Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali. Material itu diprediksi lava baru yang dikeluarkan saat erupsi pada Rabu (27/6).
"Titik panas itu teramati dari citra satelit," Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana saat dihubungi Antara dari Denpasar, Kamis (28/6).
Devy mengungkapkan pascaerupsi pada Rabu (27/6) pukul 22.21 WITA itu, secara visual teramati kolom gas berwarna putih tebal yang keluar ke permukaan sejak Kamis (28/6) pagi sekitar 200 meter di atas puncak.
Intensitas emisi gas kemudian mengalami peningkatan dan disertai abu tipis yang terjadi secara menerus dengan ketinggian berkisar 1.500-2.000 meter di atas puncak di gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu.
PVMBG mencatat arah sebaran abu utamanya bergerak ke arah barat kemudian membelok ke barat daya. Tim PVMBG juga telah melakukan pengecekan yang menemukan hujan abu dengan intensitas tipis di sekitar Desa Puregai sekitar 7 km dari puncak.
Hingga pukul 18.00 WITA, aktivitas emisi gas dan abu masih terus berlangsung dengan ketinggian relatif konstan kisaran 1.500-2.000 meter di atas puncak.
Devy menambahkan secara seismik, juga teramati peningkatan amplitudo secara cepat dalam tempo 12 jam terakhir. "Kegempaan didominasi oleh gempa-gempa dengan konten frekuensi rendah yang dimanifestasikan di permukaan berupa emisi gas dan abu berupa embusan," katanya.
Gempa-gempa itu, lanjut dia, kemudian semakin rapat dan membentuk tremor menerus sejak sekitar pukul 12.30 WITA. Secara deformasi, teramati inflasi sejak 13 Mei 2018 hingga saat ini dengan peningkatan sekitar 5 mm.
"Hal ini mengindikasikan masih adanya pembangunan tekanan oleh magma di dalam tubuh Gunung Agung dan hingga saat ini, inflasi tubuh Gunung Agung masih belum mengalami penurunan," ucapnya.
Secara geokimia, kata dia, gas-gas sulfur dioksida (SO2) terakhir kali terukur dengan fluks pada kisaran 200 ton per hari yang mengindikasikan masih adanya pergerakan magma dari dalam tubuh Gunung Agung menuju ke permukaan.
Devy menganalisis fenomena emisi gas dan abu menerus yang terjadi hingga saat ini kemungkinan disertai aliran fluida, didukung oleh sinyal seismik dengan tremor frekuensi rendah, citra satelit, maupun pengamatan visual.
Pengamatan visual ditunjukkan dengan adanya kolom gas dan abu cenderung berwarna putih dan ketinggiannya relatif konstan. Ia menambahkan aliran fluida yang terjadi selain berupa gas dan abu juga dapat berupa aliran lava segar ke permukaan.
Sinyal tremor dengan frekuensi rendah dengan frekuensi dominannya relatif tidak berubah pada kisaran 4 Hz, lanjut dia, mengindikasikan laju aliran fluida ke permukaan memiliki laju relatif konstan.
Pihaknya mengestimasi aktivitas permukaan yang terjadi saat ini masih bersifat efusif.
"Jika sinyal seismik mengalami perubahan, misalnya ditandai kemunculan kegempaan frekuensi tinggi, perubahan konten frekuensi tremor dan atau terjadi peningkatan amplitudo signifikan, maka ini dapat mengindikasikan terjadinya penyumbatan dan erupsi eksplosif bisa terjadi," jelasnya.
Namun, jika aktivitas emisi gas dan abu itu terus berlangsung tanpa mengalami perubahan laju yang berarti, Devy menjelaskan, maka kemungkinan yang terjadi pengisian lava segar ke permukaan atau penambahan volume kubah lava dan atau emisi gas magmatik.
Saat ini, status Gunung Agung masih berada lada level siaga sehingga pihaknya mengimbau masyarakat termasuk wisatawan untuk tidak melakukan pendakian atau aktivitas di zona perkiraan bahaya di seluruh area di dalam radius empat kilometer dari kawah puncak Gunung Agung.