Selasa 26 Jun 2018 06:16 WIB

Impor yang Mematikan

Indonesia pernah memiliki pengalaman buruk terkait impor kedelai yang tak terkendali.

Kedelai impor
Foto:

Petani yang menanam kedelai selalu merugi. Akibatnya, luas lahan kedelai merosot drastis: pada 1992 luas panen 1.665.706 hektare, tinggal 357 ribu hektare pada 2017 (21 persen dari 1992). Produksi merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,542 juta ton (2017) atau tinggal 29 persen. Petani kedelai yang tersisa adalah mereka yang tak punya pilihan. Politik pembiaran (hands-of economic policy) tak hanya menghancurkan modal sosial, tapi juga 'mematikan' petani kedelai.

Kini, tanda-tanda impor yang mematikan itu menjalar ke petani tebu dan pengolah singkong. Akibat impor yang tidak terkendali, sejak 2016 pasar banjir gula. Buntutnya, harga gula domestik terus tertekan. Sejak 2017, lelang gula petani sering kali gagal, karena harga dari pedagang di bawah biaya produksi.

Tahun 2018, pasar masih dipenuhi gula sisa tahun 2017, mencapai 1,2 juta ton. Dalam kondisi demikian, pemerintah mengeluarkan izin impor gula mentah 1,1 juta ton untuk diolah jadi gula konsumsi. Ditambah perkiraan produksi tahun ini 2,2 juta ton dan gula rafinasi yang merembes ke pasar gula konsumsi 0,5 juta ton, total pasokan gula konsumsi mencapai 5 juta ton. Padahal, kebutuhan hanya 2,9 juta ton. Bagaimana petani tebu hidup (layak)?

Mengimpor pangan dari luar negeri walaupun dengan harga lebih murah ketimbang pangan petani domestik akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, kalau mengimpor pangan dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda .

Sebaliknya, jika membeli pangan petambak domestik meskipun lebih mahal akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu berbentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif pada beras produksi petaninya, tak lain karena efisiensi sosial.

Ekspor-impor dalam dunia yang menjelma 'desa global' memang penting. Tetapi, globalisasi tidak menjamin level permainan seimbang. Negara-negara berkembang tidak saja berhadapan dengan kuatnya pertanian negara maju, tetapi juga harus menghadapi keberpihakan yang bias organisasi-organisasi multilateral semacam WTO, IMF, dan Bank Dunia. Dalam konstelasi dunia demikian, pilihan bagi negara berkembang tidak banyak. Bahkan, secara ekstrem pilihannya--untuk 50 tahun ke depan--hanya tunggal: pertanian.

Jantung persoalannya terpusat pada bagaimana mendongkrak produktivitas dan kualitas produk pertanian kita. Upaya ini terbentur pada iptek, pasar, dan modal yang masih dikuasai negara maju. Ini muncul karena di dunia ini tidak ada yang gratis. Naluri menguasai dunia negara maju akan selalu abadi. Situasi ini memberi isyarat bahwa kita harus mengurangi ketergantungan, khususnya produk yang secara alamiah bisa dihasilkan sendiri, terutama pangan tropis.

Dengan menekan ketergantungan selain menghemat devisa juga menciptakan pekerjaan. Jadi, bila hak hidup petani jadi dasar dalam melihat impor, yang sebenarnya dibangun tak hanya ketergantungan pangan, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan berusaha bagi sebagian besar petani, mayoritas warga di negeri ini.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement