Selasa 26 Jun 2018 06:16 WIB

Impor yang Mematikan

Indonesia pernah memiliki pengalaman buruk terkait impor kedelai yang tak terkendali.

Kedelai impor
Foto: antara
Kedelai impor

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)/Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)

Impor, termasuk impor pangan, merupakan kegiatan ekonomi yang lumrah. Dia tak berbeda dengan ekspor. Ekspor dilakukan guna meraup devisa. Sebaliknya, impor jadi bagian dari upaya untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Menurut UU 18/2012 tentang Pangan, impor pangan tidak dilarang.

Impor bahkan jadi bagian solusi. Impor boleh asal syaratnya terpenuhi: bila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; dan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi (Pasal 36 ayat 1 dan 2).

Impor jadi krusial karena ia memiliki hubungan dengan produk pertanian yang dihasilkan di dalam negeri. Sepanjang jumlah yang diimpor tidak signifikan atau produk domestik sudah siap bersaing, impor tidak menjadi masalah. Masalah muncul karena impor tidak selalu karena ada kebutuhan.

Atau impor dilakukan tanpa menimbang nasib dan perlindungan pada petani domestik. Lalu, soal daya saing juga tidak berdiri sendiri, tapi merupakan resultante kebijakan di dalam negeri dan kebijakan negara-negara lain. Implikasinya, kita tidak bisa melihat persoalan daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara saksama kebijakan negara lain.

Ditilik dari kepentingan untuk memberikan jaminan hak hidup petani, impor jadi masalah fundamental. Sesuai amanat konstitusi bahwa warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai dengan kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara oleh negara, jelas hak hidup petani tidak bisa diabaikan. Sebaliknya, negara wajib melindunginya.

Karena itu, kebijakan apa pun tidak boleh menyubordinasi hak hidup petani. Misal, impor dan daya saing. Daya saing berjalan lurus dengan efisiensi. Tapi, efisiensi bukanlah tujuan apabila tidak manusiawi. Perbudakan itu efisien, tapi tepatkah pada era saat ini? Harga pangan impor murah adalah efisien. Tapi ini tidak manusiawi apabila mematikan hidup petani.

Celakanya, manajemen impor pangan kita acak adul. Itu tecermin dari ikhtisar pemeriksaan BPK tahun 2015 hingga semester I 2017, yang dirilis awal April 2018. Ada 11 temuan kesalahan kebijakan impor pada beras, gula, garam, dan daging sapi sejak Menteri Perdagangan dijabat Rachmat Gobel, Thomas Lembong, hingga Enggartiasto Lukita.

Kesalahan bisa dikelompokkan jadi empat. Pertama, impor tidak diputuskan di rapat tertinggi di Kemenko Perekonomian. Ini terjadi pada impor gula kristal putih 1,69 juta ton untuk swasta, impor 50 ribu ekor sapi buat Bulog, impor daging sapi 97.100 ton pada 2016, impor 70.100 ton, dan 17 ribu ton daging sapi kepada PT Impexindo Pratama.

Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis: Kementerian Pertanian. Ini terjadi pada impor gula kristal mentah 108 ribu ton kepada PT Adikarya Gemilang, impor beras kukus 200 ton oleh Bulog, impor daging sapi 97.100 ton pada 2016, impor daging sapi 17 ribu ton kepada PT Impexindo Pratama, dan impor daging sapi 10 ribu ton kepada Bulog.

Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan dan persyaratan dokumen. Ini terjadi pada impor gula kristal mentah 108 ribu ton kepada PT Adikarya Gemilang, impor beras 70.195 ton, impor sapi 9.370 ekor, impor daging sapi 86.567,01 ton pada 2016, impor daging sapi 70.100 ton, dan impor garam 3,35 juta ton. Keempat, pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan. Ini terjadi pada impor beras 70.195 ton.

Selain itu, BPK menyimpulkan Kemendag tidak memiliki mekanisme untuk memantau realisasi impor: apakah impor melebihi atau kurang dari persetujuan, apa laporan importir terlambat atau importir tidak melaporkan impor? Karena piranti monitoring tidak ada, importir yang nakal--karena tidak melaporkan realisasi impor atau impor melebihi kuota--tidak mendapatkan sanksi.

Tidak menyatunya data portal Inatrade membuat data Kemendag dan kementerian teknis berbeda-beda. Ujung-ujungnya, data yang dijadikan dasar untuk membuat keputusan impor dipertanyakan. Sayangnya, audit BPK belum bisa menjawab pertanyaan: ada apa di balik tata kelola impor seperti ini? Apa benar impor didorong oleh kebutuhan atau justru untuk meraih rent-seeking yang gurih?

Sampai saat ini, harga-harga pangan domestik masih lebih mahal ketimbang harga pangan impor. Ada disparitas harga yang besar antara pangan impor dan domestik. Harga pangan impor murah karena berbagai subsidi dan dukungan domestik. Begitu impor, importir seperti mendapat durian runtuh. Karena sekali impor, potensi untungnya miliaran, bahkan bisa triliunan rupiah.

Potensi untung ini bisa dibagi-bagi di antara pihak-pihak yang terlibat impor, langsung ataupun tidak langsung. Berbeda dengan mendorong produksi domestik yang ribet dan mahal, impor adalah cara super mudah dan murah. Alasan-alasan ini yang sering kali membuat impor terus (sengaja atau tidak) dilestarikan.

Ditilik dari hak hidup petani dan perlunya kita berdaulat di bidang pangan, impor mestinya dilakukan secara hati-hati. Negeri ini pernah memiliki pengalaman buruk terkait impor kedelai yang tak terkendali. Akibat liberalisasi kebablasan pada 1997-1998, tak ada lagi subsidi dan perisai petani kedelai dari gempuran impor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement