REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota Jakarta yang menjadi ibu kota negara ini baru saja memperingati hari kelahirannya ke-491. Berbagai acara pun digelar untuk memeriahkan momen penting ini.
Namun di balik kemeriahan ini, polemik mengenai penetapan hari ulang tahun (HUT) Jakarta masih terus menggema. Melalui sebuah diskusi yang digelar di Pasar Seni, Ancol, Jakarta Utara, sejarawan JJ Rizal mengungkap sejarah hari lahirnya Jakarta.
Menurut Rizal, penetapan HUT Jakarta yang dirayakan setiap tahun pada 22 Juni harus dilihat dalam konteks politik. Sebab, penetapan hari lahir itu merupakan permintaan dari wali kota Sudiro ketika ia mulai menjabat pada 1953.
Sebagai salah satu syarat menjadi ibu kota negara, Jakarta harus memiliki tanggal kelahiran. Maka, Sudiro pun menugaskan Prof Dr Sukanto untuk mencari catatan-catatatn yang menunjukkan tentang hari kelahiran Jakarta.
Satu-satunya data yang menyebutkan tahun kelahiran Jakarta pada 1527, yaitu bersumber dari Prof Dr PA Hussein. Sukanto mengutip dalam disertasi Hussein yang berjudul Critische Beschouwarinh van den Sejarah Banten.
Rizal mengatakan, penetapan 1527 sebagai tahun kelahiran didasarkan pada cerminan semangat nasionalisme antikolonial. Pada saat itu, kekuatan pribumi Islam mampu mengusir kekuatan Eropa. Menariknya, tidak ada satu pun catatan yang ditemukan mengenai tanggal dan bulan kelahiran Jakarta. "Jadi yang ada saat ini dibikin-bikin. Inilah yang menjadi polemik," ujar dia.
Namun, di luar perdebatan panjang mengenai kapan tepatnya Jakarta lahir, Rizal mengajak berbagai pihak khususnya pemerintah dan masyarakat untuk fokus pada visi politik HUT Jakarta. "Berbicara mengenai HUT Jakarta seharusnya tidak lagi berkutat pada benar atau salah tetapi visi politik apa yang ada di balik peringatan hari lahir ini," kata dia.
Bagi orang Betawi yang merupakan penduduk asli Jakarta, menurut Rizal, visi di balik ulang tahun ini adalah mengembalikan Jakarta tidak hanya sebagai kota daratan tetapi juga kota maritim. Dalam beberapa dekade terakhir, ia melihat Jakarta sebagai kota yang hanya berfokus pada kawasan daratan.
Maka tidak heran jika pada akhirnya kawasan paling buruk di Jakarta itu ada di utara yaitu pesisir pantai. Kondisi pesisir dan laut yang buruk ini pula yang dijadikan alasan pihak-pihak tertentu memaksakan reklamasi. "Masyarakat harus diingatkan kembali bagaimana mengembalikan Jakarta pada akar peradabannya yaitu di laut," kata Rizal menegaskan.