Selasa 19 Jun 2018 19:44 WIB

Polemik Iriawan, Demokrat: Istana Cari-Cari Pembenaran

Komisaris Jenderal Polisi Iriawan kemarin dilantik jadi Penjabat Gubernur Jabar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Mendagri Tjahjo Kumolo (kiri) melantik Komjen Pol Mochamad Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Senin (18/6).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Mendagri Tjahjo Kumolo (kiri) melantik Komjen Pol Mochamad Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Senin (18/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai, pihak istana mencari-cari pembenaran bagi pengangkatan polisi aktif menjadi Pj Gubernur Jawa Barat (Jabar). Hal ini terlihat dari kesulitan pihak istana menemukan pembenaran, hingga secara oportunistik melihat ke belakang, yakni mencari persamaan dan preseden dari kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Rachland melihat tindakan istana sebagai perbuatan oportunisme. "Karena biasanya Presiden Jokowi dan para pendukungnya justru selalu berusaha membedakan diri dari pemerintahan SBY," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika, Senin (19/6).

Menanggapi protes publik atas pengangkatan Perwira Tinggi Polisi aktif menjadi Pj Gubernur Jabar, Rachland melihat istana justru mencari persamaan dengan kebijakan Presiden SBY. "Disebutlah pengangkatan Setia Purwaka dan Tanri Ali, keduanya Perwira Tinggi TNI, yang diangkat oleh Presiden SBY sebagai Pj. Gubernur, sebagai preseden untuk membenarkan pengangkatan M. Iriawan oleh Jokowi kemarin sebagai Pj Gubernur Jabar," ucapnya.

Menurut Rachland, ada sekurangnya tiga hal berbahaya di balik oportunisme tersebut. Pertama, Istana dengan sengaja menutupi fakta bahwa dua perwira TNI tersebut sudah alih status dari militer menjadi sipil saat mereka diangkat. Ini berbeda dengan Pj Gubernur Jabar yang hingga hari ini masih berstatus perwira polisi aktif.

Poin kedua, memaksakan polisi aktif menjadi Pj Gubernur tepat pada saat pilkada akan berlangsung. Istana dinilai, dengan sengaja mengabaikan dan mengentengkan protes publik yang sedari awal mencemaskan kemungkinan penggunaan kekuatan polisi untuk memenangkan paslon tertentu.

"Di sini, Presiden dapat dinilai merusak profesionalitas dan imparsialitas Polri," ujar Rachland.

Ketiga, disadari atau tidak, Presiden dapat dinilai sedang membangun suatu negara polisi. Yakni, dengan mengaktifkan dwi-fungsi ABRI ke dalam wujud dwi-fungsi Polisi hanya demi tujuan politik pribadinya sendiri.

Atas berbagai pandangan ini, Rachland mengatakan, kita semua patut cemas. Oportunisme kebijakan Istana tersebut adalah gejala dari sesuatu yang lebih berbahaya. "Yakni sedang merayapnya otoriterisme istana kembali ke dalam politik Indonesia," ucapnya.

Sebelumnya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mocthar Ngabalin menilai cicitan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terkait penguasa yang melampaui batas seharusnya tidak banyak ditanggapi. Cicitan yang dianggap berkaitan dengan pengangkatan Komjen Iriawan ini pun sumir karena para eranya SBY melakukan hal serupa.

Ngabalin mengatakan dia tidak ingin menghabiskan waktu dengan berkomentar atas apa yang telah dilayangkan SBY dan Partai Demokrat. Terlebih para pemerintahan sebelumnya juga ada pejabat seperti Iriawan yang menjadi penjabat gubernur.

"Emang zaman Pak SBY waktu mengangkat Mayjend Tanri Bali beliau sudah pensiun?" ujar Ngabalin, Selasa (19/6).

Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan pada Januari-April 2008. Masih pada era SBY, ada pula Mayjen TNI Setia Purwaka yang dilantik menjadi Penjabat Gubernur Jawa Timur pada 2008-2009.

Ngabalin pun heran mengapa partai SBY tidak mengkritisi Irjen Carlo Brix Tewu yang menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Barat. Hal serupa juga terjadi ketika Mayjen TNI Soedarmo menjadi Penjabat Gubernur  Aceh.


 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement