REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Idul Fitri merupakan momen untuk saling bersatu yang mestinya direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Moeldoko mengatakan sangat disayangkan jika potensi besar yang dimiliki Indonesia hilang hanya karena negara tak bersatu.
"Idul Fitri adalah kondisi dimana semua kembali ke nol. Semua yang buruk kita tanggalkan, kembali bersih. Negara ini milik kita bersama, dan bersatu menjadi kunci Indonesia untuk maju. Kita harus saling membesarkan, jangan saling mengecilkan. Ini momen kita untuk saling bersatu, bukan cerai berai, apalagi berseteru yang bersifat paradoks dari makna Idul Fitri," kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (15/6).
Moeldoko menilai potensi bangsa ini sangatlah besar dengan segala keberagaman suku bangsa, budaya, dan sumber daya alamnya. Karenanya, dari semua kelebihan itu, Indonesia harusnya jaya dengan semua potensinya. "Jadi amatlah disayangkan jika semua potensi ini tergerus karena warga negaranya tak berpikiran bersatu," tambah mantan Panglima TNI yang juga bergelar doktor ini.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi. Ia mengajak kepada umat Islam setelah menjalani serangkaian ibadah selama bulan Ramadhan dapat lebih meningkatkan kepatuhannya terhadap ajaran Islam dan kepeduliannya terhadap sesama, terutama kepada kaum dhuafa, fakir-miskin dan anak yatim-piatu, dengan mengeluarkan zakat, infaq, sedekah dan wakaf.
"Mengajak kepada seluruh umat Islam di Indonesia untuk menjadikan hari raya Idul Fitri sebagai momentum menjaga kohesi sosial, menjaga perdamaian, memperkuat dan mengokohkan kembali ikatan dan hubungan antar-sesama saudara seagama (ukhuwah islamiyah), saudara sebangsa (wathaniyah), saudara sesama manusia (insaniyah)," ujar Zainut di kesempatan berbeda.
Terlebih Idul Fitri tahun ini dekat dengan agenda politik nasional berupa Pemilukada, Pemilihan legistatif dan Pemilihan Presiden 2019, MUI menilai perbedaan aspirasi politik merupakan hal biasa yang harusnya dipandang sebagai rahmat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Labih lanjut Zainut mengimbau kepada para khatib shalat Idul Fitri untuk selain menyampaikan pesan peningkatan keimanan dan ketakwaan, persaudaraan dan kedamaian kepada para jamaah, juga mengingatkan dan meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya terorisme, narkoba, minuman keras, dan segala bentuk perbuatan mudharat lainnya.
Sedangkan cendekiawan muslim Prof Komaruddin Hidayat berharap Idul Fitri menjadi momen bagi anak bangsa untuk mendinginkan suhu politik. "Momen Idul Fitri dengan libur lebaran yang cukup panjang memang memberi jeda 'cooling down', semua bersilaturahmi, kondisi ekonomi juga saya kira meningkat, jadi betul-betul dinikmati lah lebaran kali ini," ujarnya saat dihubungi wartawan.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, meski suhu politik dipastikan akan naik lagi usai Idul Fitri, ia mengimbau masyarakat untuk tidak lagi, atau mengurangi ujaran-ujaran kebencian baik bentuk tulisan, gambar, atau lainnya.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Achmad Satori Ismail menyatakan bahwa hari raya ini harus dimaknai sebagai momentum untuk tetap menjaga perdamaian antarumat manusia. "Menjaga persatuan, menjaga ukhuwah, dan menjaga persatuan, itu yang paling penting," katanya.
Seperti dikemukakan Moeldoko, Satori menegaskan, pada dasarnya semua agama menginginkan dan mengajarkan hal yang sama, yakni perdamaian, dimana dapat terwujud jika antarumat saling mengasihi dan menghormati perbedaan. "Oleh karena itu, semua langkah kita arahkan kepada penciptaan dalam wujud kasih sayang di kehidupan nyata," imbuhnya.
Dalam konteks politik, dia juga mengajak seluruh masyarakat dalam para elit politik agar memiliki kesamaan pandangan dan niat untuk membangun bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. "Tujuannya harus sama untuk membangun negeri ini," ucap Satori.