Kamis 14 Jun 2018 07:46 WIB

Bukan Sekadar Ritual

Bersungguh-sungguh dalam memaafkan sebenarnya sarana melatih pola pikir ikhlas.

Yudha Manggala P Putra
Foto: Republika/Daan
Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudha Manggala P Putra*

Hari Raya Idul Fitri sudah sangat dekat. Biasanya, pada momen 1 Syawal ini, ada satu tradisi yang dilaksanakan masyarakat muslim hampir di seluruh Tanah Air. Ritual itu adalah saling meminta maaf dan memaafkan.

Bagi saya dan mungkin Anda, momen ini selalu menghadirkan keharuan. Melihat anak bersimpuh mengharapkan maaf dan ridha orang-tuanya, saudara saling berpelukan berharap kesalahan masa lalu terlupakan, antartetangga saling berjabat tangan melupakan sakit hati, hingga sesama sahabat dan rekan kerja yang saling meminta maaf dan berkirim doa dengan suasana kedamaian.

Pada hakikatnya meminta maaf memang tidak harus menunggu Lebaran. Tunaikan segera bila ada kesalahan yang dilakukan, baik sengaja maupun tak sengaja terhadap orang lain.

Begitu juga memaafkan. Lakukanlah bahkan sebelum orang yang menyakiti kita meminta maaf. Sikap mulia ini bahkan salah satu yang sangat ditanamkan dalam ajaran Islam. Ia termasuk bentuk ketakwaan kepada Allah SWT. Seperti firman-Nya dalam Alquran:

"Dan segeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Al-Imran: 133-134).

Namun, terlepas dari pemilihan waktunya, memaafkan jelas perbuatan kebajikan. Dengan catatan, perbuatan yang dimaafkan masih terkait dengan hak atau privasi pribadi, bukan perbuatan melanggar hukum yang sudah divonis hakim apalagi yang melanggar hukum agama.

Patut diingat juga, memaafkan juga ada syaratnya. Yakni harus dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan berlapang dada. Bukan sekadar ritual, sebatas seremonial tanpa melakukannya bersungguh-sungguh.

Memang, bagi sebagian orang, mungkin termasuk saya, memaafkan tidak segampang yang diucapkan. Ada kalanya sakit hati terasa perih tak terhingga dan sulit diobati hanya dengan memaafkan.

Padahal mengutip pandangan Psikolog klinis dari Personality Development Center Firman Ramdhani, bersungguh-sungguh dalam memaafkan sebenarnya sarana melatih pola pikir ikhlas dan emosi yang lebih stabil.

Seseorang bisa lebih menjalani hari-hari dengan lebih baik, semakin produktif, fokus ke pekerjaan, karier, edukasi, atau sekolahnya jika mampu mudah memaafkan dan ikhlas. Sebaliknya, jika kemarahan dan dendam disimpan dalam hati, ia akan berubah menjadi energi negatif yang dapat merusak jiwa dan raga.

Ingatlah juga, jika Allah Yang Mahabesar saja mau mengampuni dosa hamba-Nya, tentu kita makhluk lemah yang tidak lepas dari dosa mestinya bisa memaafkan kesalahan orang yang berbuat salah. Wallahu a’lamu bi as-Shawab.

Semoga Ramadhan terus menjadikan kita pribadi lebih baik dan bertakwa. Taqabbalallahu Minna wa minkum.

 

*Jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement