Senin 11 Jun 2018 18:59 WIB

Berhentilah Mengutuk Irasionalitas!

Agama dapat menjadi sumber moral untuk mendorong kualitas pemerintahan demokratis

Tauchid Komara Yuda
Foto: dokpri
Tauchid Komara Yuda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tauchid Komara Yuda*

 

Menjelang pilkada serentak, yang disertai gemuruhnya suasana menjelang pilpres 2019, soal populisme politik kembali menjadi perdebatan serius di tengah-tengah masyarakat. Terutama seiring munculnya wacana koalisi keumatan, yang oleh sebagian orang diasosiasikan sebagai ekstremitas populisme sayap kanan dan dinilai dapat mencederai demokrasi.

Saya sebetulnya kurang sepakat, apabila populisme kanan ditempatkan secara vis a vis dengan demokrasi. Pasalnya demokrasi juga menjamin untuk orang untuk memilih dengan preferensi dari hal yang paling pribadi dalam dirinya. 

Hemat saya, populisme, baik itu kanan atau kiri, baru akan merusak institusi demokrasi apabila pasca-pemilu, basis massa pendukung politisi bukannya segera bertransformasi menjadi alat kontrol bagi kekuasaan, akan tetapi justru mengamankan jalannya kekuasaan sekalipun pemimpinnya khilaf. Situasi ini nyata-nyata terjadi dalam perpolitikan tanah air hari ini, yang menjangkit mulai dari level kabupaten, sampai level tertinggi pemerintahan.

Apakah fenomena ini mengindikasikan demokrasi rasional hanyalah mitos? Atau sebaliknya, jangan-jangan demokrasi irasionalah yang barangkali paling rasional? Untuk mendapat jawabannya, saya akan mengajak pembaca yang budiman untuk menyelami kembali akar pemikiran demokrasi dalam cerita sederhana berikut.

Tuhan Telah Mati

Tuhan telah mati! Ini adalah salah satu pernyataan Nietzche yang paling dikenal dunia. Sesuai dengan apa yang diungkapan Nietzche, saat itu Eropa sedang mengalami proses transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang mendasarkan segalanya pada rasionalitas (aql). 

Masyarakat Eropa kala itu semakin yakin, bahwa pemerintahannya tidak lagi perlu memerlukan legitimasi ilahiah untuk menjadi sah, dogma agama dalam keseharian mereka pun semakin disangsikan. Sebab, orang semakin merasakan sains lebih dari sekedar mampu untuk menggantikan kerja-kerja Tuhan.

Transformasi Eropa menjadi pelecut bagi terjadinya gelombang revolusi industri, yang kemudian disusul oleh proyek kolonisasi di dunia Selatan. Lanskap dunia seketika berubah, percikan renaisans di Eropa turut menyambar dunia Selatan, yang memaksa aturan teokrasi dan feodalisme harus berkompromi dengan kehendak akal pada akhirnya. 

Di Eropa, anggapan tentang kemajuan-kemajuan itu diakomodasi oleh sistem demokrasi, yang memungkinkan tiap-tiap individu dapat mengartikulasikan kehendaknya. Akan tetapi di negara-negara Selatan, tidak jarang demokrasi justru disertai masalah pertentangan antarkelas dan golongan. 

Contoh kembang kempisnya demokrasi di jazirah Arab, intensnya inflitrasi junta militer pada pemerintahan demokratis di sebagian negara-negara Asia Tenggara, reposisi poitik patronase post pemerintahan otoritarian, dan terutama gagalnya pemisahan agama dan negara (sekularisasi) merupakan bukti demokrasi rasional telah menjadi irasional.

Poin terakhir tentang sekularisasi, terutama yang terjadi di Indonesia saat ini, adalah suatu catatan penting untuk mengkoreksi cara pandang kita terhadap demokrasi. Bahwa demokrasi kita tidak lahir untuk melucuti Imago Dei dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana pengalaman Eropa, melainkan sebagai wujud rasa syukur atas berkat dan rahmat-Nya. Sehingga bukan barang aneh, apabila agama masih memainkan peranan penting dalam membentuk tatanan demokrasi kontemporer.

Amerika Mendambakan Tuhan 

Hanya berselang dua dekade sejak Francis Fukuyama, yang dalam bukunya berjudul "The End of History and The Last Man" menyatakan bahwa ‘demokrasi liberal merupakan muara akhir dari perjalanan peradaban manusia’, tiba-tiba saja dunia dikejutkan sosok Donald Trump yang tak pernah sepi dari kritik. 

Lantaran ia sering melontarakan isu-isu agama dalam berbagai kesempatan pada masa kampanyenya di 2016 lalu. Anehnya, Trump justru memperoleh suara cukup signifikan di 28 negara bagian, khususnya Florida dan Ohio sebagai basis pemenangannya. 

Jika berangkat dari perspektif demokrasi rasional, tentu ini menjadi ‘aib’ bagi sebuah negara adidaya yang diklaim sebagai representasi terbaik negara demokrasi di dunia. Meskipun apa yang dilakukan Trump terbilang sangat ekstrem dan intoleran, namun apakah fenomena ini menandakan bahwa diam-diam masyarakat Barat sedang merindukan sosok kembalinya Tuhan dalam peradaban mereka?

Saya berpendapat, setelah pengalaman Amerika ini, maka satu-satunya cara untuk memahami demokrasi di masa depan ialah berdamai dengan Tuhan. Demarkasi antara agama dan publik harus segera digantikan dengan rasionalitas baru yang menyediakan pemahaman bahwa agama tidak lagi dianggap elemen yang korosif bagi pilar demokrasi. 

Agama pada level tertentu justru dapat menjadi sumber moral untuk mendorong peningkatan kualitas pemerintahan demokratis yang bebas korupsi, jujur, transparan, inklusif, profesional, pro-kesejahteraan, dan berlandaskan visi-misi profetik.

Dalam konteks Indonesia hari ini, ada baiknya kita tidak usah berlebihan menanggapi koalisi keumatan dengan nada sentimen. Sejauh tidak ada indikasi keinginan untuk mengganti ideologi Pancasila, yang perlu kita lakukan hanyalah mengawal, agar koalisi keumatan ini dapat memainkan perannya sebagai oposisi yang efektif dalam mengkoreksi kebijakan petahana. 

Terutama apabila presiden Jokowi terpilih untuk kedua kalinya. Atau, jika koalisi keumatan ini dapat memenangkan kandidatnya pada 2019 nanti, kita berharap agar koalisi ini dapat membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.  

Jika kita mau mengambil hikmah, semakin diminatinya populisme sayap kanan  membuktikan bahwa akal tidak lagi cukup sebagai tempat pelarian yang solutif bagi persoalan kesejahteraan, penderitaan, apalagi ‘kematian’. Sebagaimana dikatakan Bauman (1999: 31), “Human are the only living creatures who know that they are going to die and that there is no escape from death” 

Dengan begitu, keinginan akan kehadiran Tuhan di kehidupan modern mengisyaratkan bahwa renaisans gelombang kedua tengah berlangsung, yang akan mengantarkan pada suatu masa dimana iman dan akal saling mengisi satu sama lain, sementara agama dan demokrasi semakin menemukan titik ekuilibriumnya. 

 

*Kaukus aliansi kebangsaan/peneliti di pusat studi pembangunan sosial, UGM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement