Rabu 13 Jun 2018 01:00 WIB

Mudik Spiritual

Kembali fitri, meneguhkan diri melangkah dalam wilayah kesucian.

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie, Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

 

Pernahkah melihat orang-orang Bangladesh menjelang lebaran bergelantungan di kereta api? Bukan hanya di atas gerbong,  tapi benar-benar bergelantungan.  Ketika atap sudah penuh, bagian depan lokomotif juga diisi manusia, semacam tameng bila terjadi tabrakan, maka bergelantungan pilihan berikutnya.

Mudik tidak hanya di Indonesia,  bukan  khas Melayu, ia juga ada di Pakistan dan juga Turki.  

Anehnya, meski merayakan hari-hari keagamaan,  mudik tidak membudaya di negeri barat.  Ini menjadi salah satu pertanda perbedaan antara masyarakat barat dan timur. Frityof Capra, ahli fisika teoritis yang mendalami budaya timur menulis,  ada dua macam pengetahuan yang dicapai manusia. Orang barat lebih rasional dan orang timur lebih intuitif.  Dua pengetahuan itu membuat orang barat lebih fokus kepada sains dan orang timur fokus dalam agama. 

Jadi, tidak heran,  sebagai orang timur maka orang-orang  Cina juga pulang kampung pada perayaan keagamaan. Mereka memiliki budaya penghormatan kepada leluhur. 

Bagi kaum muslimin, yang jumlahnya sangat besar, dengan sederet  syariat wajib hormat kepada orang tua, setiap muslim adalah saudara, bersilaturahmi, mencintai dan mendoakan sesama muslim, semua itu mengantarkan kecintaan pada lingkungan dari mana seseorang berasal. Akibatnya, mudik lebaran untuk saling berkunjung memanjang sejak Indonesia sampai Turki. Di Afrika, mudik juga menjadi ciri muslim Nigeria. 

Istilah mudik lahir sekitar tahun 70-an ketika arus pulang kampung berduyun-duyun dari Jakarta kembali ke udik.  Suasana lebaran yang menggembirakan anak-anak sudah dituangkan oleh Aman Datuk Madjoindo, dalam bukunya “Si Doel Anak Betawi” terbit tahun 1932.  Memang belum ada suasana hiruk-pikuk mudik,  tetapi buku itu telah menguraikan bagaimana anak-anak yang suka ria menyambut lebaran.  Orang tua yang membelikan baju baru, bertandang ke rumah tetangga,  ada kue serta diberi uang.  

Gambaran lebih lengkap muncul pada buku Haryoto Kunto, Ramadan Di Priangan.  Kebahagiaan seperti itu pula yang ditulis Jenderal A.H. Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas. Beliau mengenang masa kecil di tahun 1930-an, di Sumatera Utara.  “Bagi anak desa, bulan puasa dan lebaran adalah saat-saat yang paling berbahagia. Berlibur, orang-orang pada pulang kampung dari perantauan ........”

Pulang kampung saat lebaran sudah ada di jaman itu. 

***

Mudik, pulang ke tanah kelahiran, bertemu dengan orang tua, berkumpul dengan sahabat, mencium aroma lembah, bukit dan pepohonan.  Menghirup kesegaran air dan udara pagi diselingi senyum dan tawa polos sanak saudara, bukankah itu keindahan? 

Mudik bukan sekedar pulang, bukan sekedar istirahat dari keruwetan kota. Mudik juga bukan sekedar liburan, dan mudik juga bukan sekedar melepas kerinduan. Mudik meneguhkan kepada diri sendiri, juga kepada yang ada di kampung halaman,  bahwa seiring tumbuhnya kegembiraan, mereka tetap menjadi satu keluarga, bahkan keluarga yang sangat besar. Di sana ada kakek-nenek, sanak saudara, kerabat, kenangan, tanah kelahiran,  teman bermain, nostalgia, harapan, bahkan mimpi-mimpi  di masa mendatang, di lebaran-lebaran  berikutnya. 

Bagi orang timur dan beragama Islam, keluarga sangat besar itu menjadi milik  yang sangat berharga. Semua yang diharap dan diraih itu ada dalam riwayat Rasulullah. Bukankah beliau sangat mencintai Makkah? Bukankah beliau juga terharu dengan kenangan-kenangan bersama istri pertama, Khotijah? 

Mudik membentuk mozaik,  di antara kegembiraan dan harapan, perjalanan diselingi macet, penuh sesak, panas,   bergumul antara haus dan lapar puasa. Pemudik tidak mundur. Ia tersenyum : Itu bukan rintangan, sama sekali bukan tantangan. Biasa saja. 

Bagi orang barat yang tidak pernah mudik,  perjuangan dalam mozaik pemudik membuat geleng –geleng kepala,  tidak rasional.  Sikap demikian pasti ditertawakan para pemudik. Hidup tidak hanya berisi formula rasional, dan hati kami tidak lemah karena perhitungan untung rugi secara material. Lelah,  panas, haus adalah bagian dari kehidupan, dia hanya sebuah fase, dan  saat kami berbuka puasa nanti di sepanjang perjalanan, fase kekuatan  akan datang.  Dan ketika kami sampai di tanah tujuan, berlebaran di sana, itu adalah fase kegembiraan yang tak terkira, yang tak bisa dirasionalkan, tak bisa dimaterialkan, setelah kesulitan  selama perjalanan, setelah berpuasa selama sebulan. 

Sebelum berpisah dengan orang barat, pemudik itu berkata : Silakan Anda memakai baju baru, silakan lebih mahal dari baju kami, tapi saya pastikan tidak lebih gembira dari anak-anak kacil kami yang bersuka ria dengan hadiah baju baru di hari idul fitri, hadiah karena mampu berjuang menahan lapar,  berhasil berpuasa, penuh  sehari. 

***

Mudik bernilai semakin tinggi ketika seorang muslim meneguhinya sebagai pulangnya manusia dalam wilayah spiritual. Dan sebenarnya,  itulah yang disampaikan oleh Islam. Kembali fitri, meneguhkan diri melangkah dalam wilayah kesucian, dan itu berarti berserah diri kepada Allah, meneguhi syariatnya, mencintaiNya dengan penuh pengabdian. 

Mudik secara fisik, pulang kampung itu sangat indah. Lebih indah bila diiringi mudik menjadi hamba yang fitri, islami. Fitri bukan hanya di hari lebaran, tapi setiap hari. Semoga itu kita. Amin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement