REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Sarifuddin Sudding memastikan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah melalui pembahasan yang cukup alot dan telah melibatkan berbagai pihak. DPR sendiri bertekad RUU KUHP akan rampung pada HUT kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 mendatang. Selama ini pembahasan RUU KUHP tak kunjung tuntas sejak diajukan pemerintah ke DPR RI pada 11 Desember 2012 silam.
"Masukan-masukan yang disampaikan olehstakeholdertelah diakomodir secara sedemikian rupa dalam KUHP. Karena kita semua sadar bahwa aturan aturan yang ada dalam hukum pidana harus juga mengakomodir nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat," kata Politikus Partai Hanura itu saat dikonfirmasi, Sabtu (9/6).
Baca juga: KPK: Kami Sudah Ingatkan Sejak Awal
Sementara terkait perilaku penyimpangan seksual, dalam hal ini LGBT, politisi Partai Hanura itu menegaskan, perilaku itu tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial, nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat, maka patut dan wajib dimasukkan ke dalam KUHP. Begitu pula yang menyangkut dengan masalah penghinaan terhadap presiden. Penghinaan Presiden tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
"Sebagai negara yang beradab, menjunjung tinggi sopan santun serta menghargai antara satu dengan yang lain, tindakan menghina atau mencaci maki adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, tutur Sudding.
Sementara itu, Anggota MKD DPR lainnya ,Ahmad Zacky Siradj menyatakan bahwa pasal pengaturan KPK dalam RUU KUHP bukanlah untuk melemahkan institusi KPK. Menurutnya justru hal itu untuk memperkuat KPK. Itu karena mengadopsi atau memasukkan Undang-Undang KPK itu sendiri dalam RUU KUHP yang tujuannya adalah untuk memperkuat dan menegaskan kewenangan dari KPK.
Baca juga: DPR: Kami akan Pelajari Apa yang Diprotes KPK
Dalam KUHP perlu ada aturan-aturan atau payung hukum bagi KPK, sehingga payung hukum itu dapat memperkuat status dan kewenangan KPK. KPK tidak perlu khawatir, karena hal itu tidak akan mengurangi kewenangannya, ungkapnya.
Sebelumnya, KPK mempertanyakan sikap Presiden soal RUU KUHP yang akan memperlemah pemberantasan korupsi. Mereka menilai sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP. "Saya kira presiden pernah beberapa kali mencegah pelemahan terhadap KPK, baik terkait rencana revisi UU KPK yang tidak jadi dilakukan ataupun hal lain," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, beberapa waktu lalu.
Lembaga antirasuah itu juga menyurati presiden Joko Widodo. Menurut Febri surat tersebut bertujuan agar muncul pemahaman bahwa adanya risiko pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi apabila RKUHP disahkan dalam format seperti yang saat ini dibahas di DPR RI.
Baca juga: DPR: Kami akan Pelajari Apa yang Diprotes KPK
Dalam surat itu juga ditulis proyek kodifikasi melalui RUU KUHP berpotensi mengabaikan Tap MPR, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta UNCAC 2003 yang intinya memuat bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konsisten sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Kemudian KPK sebagai lembaga independen bersifat constitutionally important, harus didukung delik korupsi bersifat khusus yang tidak semua harus diintegrasikan lewat kodifikasi ke dalam RUU KUHP.
"Karakter kekhususan ini disebut KPK untuk beradaptasi dalam merespons kejahatan khas dengan modus, struktur, dan jaringan yang semakin kompleks, cepat berubah, serta terus berkembang," kata Febri.
Baca juga: Alasan KPK Tolak Korupsi Masuk KUHP