Kamis 07 Jun 2018 21:08 WIB

KNTI: Pemprov Masih Punya PR Setelah Segel Pulau Reklamasi

KNTI mengapresiasi langkah Pemprov DKI menyegel pulau C dan D hasil reklamasi.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Bayu Hermawan
Spanduk penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Proyek Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Spanduk penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Proyek Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata mengapresiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang menyegel Pulau C dan D hasil reklamasi Teluk Jakarta, Kamis (7/6). Namun, menurutnya masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh pemerintah setelah penyegelan tersebut.

Marthin mengatakan, perlu adanya langkah konkrit dari pemerintah agar pembangunan tidak kembali dilakukan. Sebab, sebelumnya juga pernah dilakukan penyegelan namun tindak lanjutnya dinilai tidak efektif. Oleh kerena itu, pembangunan masih berlanjut, padahal banyak dampak yang dirasakan masyarakat akibat reklamasi, seperti terjadinya kerusakan lingkungan dan sedimentasi.

"Kalau kita melihat selama rentang waktu 2014 sampai 2018, upaya yang mirip penyegelan dan menghentikan proses itu tidak efektif. Pernah 2016 (disegel), ternyata pada saat disegel oleh pemerintah pusat Menko Maritim dan Kemen LHK dan lain-lain, pembangunanya tetap berjalan," kata Marthin saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/6).

Menurutnya, bangunan yang ada, agar dibongkar setelah dilakukan penyegelan. Selain itu, Pemprov juga harus menggugat pihak pengembang atas kerugian yang dirasakan masyarakat akibat reklamasi. "Tidak hanya membongkar saja, tapi Pemprov juga bisa menggugat balik untuk kerugian lingkungan dan kerugian yang diterima masyarakat. Sebagai government legal standing untuk memastikan tidak berhenti di aksi pemberhentian saja," katanya.

Walaupun bangunannya dibongkar, lahan tersebut dapat dijadikan sebagai pusat konservasi. Sehingga, lahan hasil pembongkaran nantinya tidak jadi sia-sia. "Berdasarkan penataan ruang daratannya, zona tersebut berdasarkan Perpres 54 tahun 2008, termasuk zona kawasan lindung. Jadi bisa juga kawasan itu dijadikan pusat konservasi, atau dijadikan hutan kota hutan mangrove," tambahnya.

Sementara itu, perwakilan nelayan dari Jaring Rampus Diding Setiawan mengaku, selama proses reklamasi banyak dampak yang dialami oleh nelayan. Akibat reklamasi, tangkapan mereka menjadi turun. "Kalau selama pembangunan itu airnya keruh. Memang disaat air keruh itu, ikan menjauh untuk dicari," katanya.

Ia pun tidak mempersalahkan jika reklamasi dilanjutkan atau tidak. Hal yang penting, pihak pengembang harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, misalnya terkait analisis dampak lingkungan (Amdal) jika reklamasi dilanjutkan.

"Kemarin kan banyak aturan itu yang ditabrak. Contohnya cara pengukuran tanah. Kan warga curiga kenapa ada sekian hektare lahan bisa secepat kilat keluar sertifikatnya. Kalau mereka melalui proses yang adil, kita masyarakat biasa sah-sah saja (reklamasi dilanjutkan)," ujarnya.

Jika setelah penyegelan, reklamasi tetap dilanjutkan, ia berharap agar pihak pengembang tidak mengenyampingkan nelayan. Dana Corporate Social Responsibility (CSR) pihak pengembang harus disalurkan kepada nelayan.

"Seperti pengembang kan punya dana CSR. Dana itu yang harusnya diturunkan kepada masyarakat. Kalau mereka sesuai dengan aturan terus ada dana CSRnya, masyarakat juga gak teriak. Dibantu lah nelayan tradisional itu," tambahnya.

Selain itu, ia berharap agar reklamasi tidak dijadikan sebagai bahan politik bagi kaum elit politik. Sebab, masyarakat khususnya nelayan yang akan terdampak terlebih dahulu. "Kadang reklamasi dijadikan bahan politik. Yang jadi korbannya nelayan. 'Saya akan hentikan reklamasi inilah, itulah'," katanya.

Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menghentikan segala aktivitas yang ada sekaligus menutup Pulau C dan D hasil reklamasi Teluk Jakarta. Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan, semua bangunan yang berdiri di pulau reklamasi tersebut resmi disegel.

"Pemprov DKI Jakarta melakukan penyegelan atas seluruh bangunan yang terletak di atas tanah di mana hak pengolahan lahan ada pada Pemprov DKI Jakarta dan seluruh bangunan ini tidak memiliki izin," kata Anies di pulau reklamasi, Kamis (7/6).

Jumlah bangunan yang disegel sebanyak 932 bangunan terdiri dari 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor (rukan) serta 311 unit rukan dan rumah tinggal yang belum jadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement