Rabu 06 Jun 2018 21:11 WIB

KPAI: Eksploitasi Seksual Anak Masih Marak

Maraknya eksploitasi seksual anak terlihat dari beberapa kasus perdagangan anak.

Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan eksploitasi seksual anak masih marak. Hal ini terbukti ada beberapa kasus perdagangan anak dalam sebulan terakhir. 

Sebut saja B (16 tahun), asal Kota Bekasi yang dijual ke Papua. Kemudian, Lu (15) dan Le (16), asal Kabupaten Malang dengan tujuan Papua. Terakhir, Tu (15) yang dieksploitasi ibu kandungnya untuk tujuan prostitusi di Blitar.

Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan tujuan menjual gadis ke Papua patut dipertanyakan kepada para pelaku. Sebab, dua peristiwa di atas harus mampu menjelaskan bahwa tren daerah tujuan ke Papua tergolong baru untuk trafficking dengan tujuan prostitusi.

"Hal ini menandakan adanya pergeseran pemesanan dari yang biasanya kota besar menjadi daerah yang jauh dan sulit dijangkau transportasi seperti pada umumnya," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (6/6).

Untuk kasus Lu dan Le, KPAI mengapresiasi Polda Papua yang telah sigap dalam mengamankan korban dan mengembalikannya ke Kabupaten Malang. Untuk itu, KPAI juga meminta adanya perhatian khusus pada Kepolisian Papua untuk meningkatkan pelayanan pada perlindungan anak korban trafficking di Papua.

Dalam kasus B asal Bekasi, keluarga belum bertemu anaknya sampai saat ini karena pemulangan masih belum jelas. Padahal, keluarga sangat mengharapkan kepolisian dan Gugus Tugas Trafficking Jawa Barat segera mengambil langkah untuk pengembalian Bunga.

"Dari keterangan Kepolisian, yang sudah mengamankan korban dan pelaku, gading-gadis ini memang berniat bekerja sebagai pramusaji di cafe melalui informasi teman dan kenalannya," kata dia.

Namun, niat mereka kandas ketika harus menjadi pemandu lagu di tempat-tempat karaoke. Bahkan, mereka berakhir dengan harus melayani nafsu para hidung belang.

Dia mengatakan Lu dan Le menjadi contoh nyata mereka melarikan diri dari lokasi prostitusi. Kemudian, keduanya mengadu kepada pihak berwajib untuk segera kembali ke kampung halaman.

Karena itu, dalam mencegah terjadinya perdagangan yang menyasar gadis muda ini, harus diawali oleh informasi yang benar tentang tempat bekerja. Dia mengatakan juga harus dipastikan tidak ada rekayasa dokumentasi yang justru akan menyulitkan diri sendiri.

Dia mengimbau masyarakat lebih berhati-hati dan mewaspadai apabila pada usia anak ada yang merekrut atau mengajak bekerja menjadi pemandu lagu di tempat hiburan. Kewaspadaan untuk mencegah hal yang tak diinginkan sedini mungkin.

Sementara itu, peristiwa memilukan di Blitar, di mana ibu kandung menjual anak gadisnya berkali-kali untuk kepentingan ekonomi harus segera ditindak. "Orang tua akan mendapatkan pemberatan hukuman karena sebagai ibu sejatinya memberikan perlindungan dan mendidik anak-anaknya bukan sebaliknya menjadikannya budak seksual," kata dia.

Dalam hal ini, orang tua berhadapan dengan Uu No 35/2014 tentang Perlindungan anak dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta rupiah. Menurut dia, kemiskinan kerap menjadi alasan terjadinya praktik eksploitasi. 

Bahkan, eksploitasi dilakukan oleh keluarga yang tega mengorbankan anak sendiri. Padahal, tidak ada alasan apapun yang membenarkan itu.

Sehingga, penegakkan hukum adalah jalan yang tetap harus ditegakkan demi keadilan dan perlindungan khusus pada korban anak. KPAI meminta agar anak segera direhabilitasi baik fisik dan psikologisnya agar mendapat perlindungan secara optimal.

Sebab, pasti tidak mudah melewati penderitaan panjang dan diakhiri kehilangan keluarga yang harus mendekam dijeruji besi. Untuk langkah selanjutnya, KPAI akan melaksanakan pengawasan pada daerah tersebut sebagai upaya memastikan upaya perlindungan anak dan pemenuhan keadilan pada anak.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement