Rabu 06 Jun 2018 08:39 WIB

APTISI: Kemristekdikti akan Kewalahan Awasi HP Mahasiswa

APTISI menilai langkah pemerintah mengawasi ponsel dan medsos mahasiswa berlebihan.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
PIN pada ponsel. ILustrasi
Foto: Dailymail
PIN pada ponsel. ILustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko menilai, langkah pemerintah melakukan pengawasan dan pendataan terhadap nomor telepon seluler dan media sosial (medsos) milik dosen serta mahasiswa sangat berlebihan. Menurut dia, hal tersebut justru akan mengganggu suasana akademik.

Budi menilai, wacana tersebut justru akan sangat merepotkan karena terdapat sekitar 7,5 juta mahasiswa dan sekitar 300 ribu dosen serta 200 ribu tenaga nonpendidik. Dengan demikian, total civitas academica mencapai hingga 8 juta.

"Dan misalnya saja yang tertangkap kasus teroris ada 100 mahasiswa, walaupun hanya dua orang, itu pun alumni Universitas Riau maka dari civitas academica kampus hanya 0, 0000125. Artinya, tidak ada 0,1 persen pun. Karena pelakunya adalah alumni maka tambah repot lagi karena alumni PT di Indonesia diperkirakan 40 juta alumni," kata Budi dari siaran pers, Rabu (6/6).

Menurut dia, banyaknya civitas academica yang harus diawasi beserta para alumni kampus pun dinilainya akan membuat Kemenristekdikti kewalahan. Sehingga, fungsi pokok dan peran Kemenristekdikti pun akan bergeser layaknya kepolisian yang menangani kasus kejahatan siber. Ia menilai bentuk pengawasan tersebut justru akan mengganggu suasana akademik sehingga dapat berdampak pada lemahnya persaingan perguruan tinggi di Indonesia terhadap negara lainnya.

"Nanti siapa yang bertangung jawab dengan terus melemahnya daya kompetitif perguruan tinggi kita, yang terus jeblok dibanding negara tetangga," ujarnya.

Selain itu, Budi melanjutkan, pengawasan nomor ponsel dan media sosial pun dapat menganggu hak privasi orang lain. Budi menyampaikan, langkah penanganan ancaman terorisme harus dilakukan secara kondusif dan persuasif. Ia pun mengusulkan agar pemerintah lebih fokus membangun kesadaran bersama untuk memerangi terorisme dengan tak lagi mendiskreditkan Islam dan juga pesantren. Selain itu, menurut dia, sinergi yang baik antara pemerintah, orang tua mahasiswa, dan juga pihak kampus juga diperlukan untuk menangkal tumbuhnya radikalisme.

Baca juga: Pemerintah Awasi Nomor HP dan Akun Medsos Mahasiswa

Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menyampaikan akan melakukan monitoring kepada para dosen dan mahasiswa menyusul maraknya temuan radikalisme di kampus. Salah satu pengawasan yang akan dilakukan adalah mendata nomor handphone (HP) dan akun media sosial milik dosen dan mahasiswa.

"Kami lakukan pendataan. Dosen harus mencatat nomor HP yang dimiliki. Mahasiswa medsosnya dicatat. Tujuannya agar mengetahui lalu lintas komunikasi mereka itu seperti apa dan dengan siapa," ungkap Nasir di Hotel Fairmont Jakarta, Senin (4/6).

Dia mengatakan, pendataan tersebut bukan bermaksud untuk merenggut hak privasi dosen, mahasiswa, dan semua civitas kampus. Kendati begitu, dia memastikan, bentuk pengawasan tersebut mesti dilakukan demi terwujudnya kampus yang steril, bersih, dan aman dari segala bentuk paham radikal. "Kalau mengganggu keamanan. Apa pun bentuk (pengawasan)-nya, harus dilakukan," kata Nasir menegaskan.

Langkah Menristekdikti ini menindaklanjuti atas penggeledahan Densus 88 Antiteror di Universitas Riau terkait dugaan jaringan teroris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement