REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak secara tegas masuknya pasal-pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). KPK beralasan pasal tersebut bakal menggerus kewenangan lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi. Bahkan keberadaan pasal Tipikor dalam RUU KUHP tersebut dianggap sebagai langkah untuk melemahkan KPK.
Menanggapi hal itu, Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menegaskan bahwa alasan KPK menolak RUU KUHP cukup beralasan. Namun, kata Erasmus, isi undang-undang tersebut tidak semuanya buruk tapi ada juga yang baik, salah satunya adalah soal kekayaan yang tidak bisa diketahui perolehannya. Kemudian KPK juga terancam tidak bisa menindak kasus korupsi yang ada di dalam KUHP nanti.
"Problemnya adalah soal benturan kewenangan. Kalau di undang-undang KPK kan disebutnya berwenang melakukan penyidikan terhadap yang yang ada di dalam undang undang Tipikor Tapi kalau ada dua aturan yang sama. Maka sesuai prinsip hukum yang berlaku aturan yang baru mengalahkan aturan yang lama," jelas Erasmus saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (5/6).
Jadi karena hanya berwenang di undang-undang Tipikor saja, maka ada yang menafsirkan bahwa KPK tidak lagi memiliki kewenangan melakukan penyidikan perkara korupsi ada di dalam RUU KUHP baru itu. Lanjut Erasmus, persoalan-persoalan itu sebenarnya salah satunya ada di ketentuan peralihan buku satu dan ketentuan peralihan buku dua, tapi sebagian besar ada di buku satu.
"Kemudian juga ada ketentuan di peralihan buku dua itu terjadi karena pemerintah maunya bikin KUHP yang seolah-olah baru," tambahnya.
Lanjut Erasmus, ada dua pendapat mengenai hal ini. Pertama ada yang berpendapat bahwa KPK masih bisa merujuk pada undang undang Tipikor, kedua ada pendapat yang mengatakan tidak bisa kalau aturannya sama persis. Artinya mengatur hal-hal yang sama otomatis ketentuan yang lama dalam hal ini adalah Undang-undang Tipikor tidak bisa lagi berlaku. "Alasan KPK ini tidak bisa diadopsi dengan model pembaharuan KUHP yang seperti sekarang," tutur Erasmus.
Erasmus mengatakan sebenarnya dari dulu pihaknya telah menawarkan solusi terkait masalah ini, yaitu amandemen bertahap terhadap KUHP. Maka dengan demikian, KUHP yang berlaku sekarang harus diamandemenkan secara bertahap. Sehingga apa yang dikawatirkan oleh KPK bisa diakomodir, tapi kalau misalkan buat baru kemungkinan bertabrakannya antar norma sangat tinggi.
Sebelumnya, KPK menilai sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP. Kemudian KPK juga menyurati presiden Joko Widodo. Menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, surat tersebut bertujuan agar muncul pemahaman bahwa adanya risiko pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi apabila RKUHP disahkan dalam format seperti yang saat ini dibahas di DPR RI.
Dalam surat itu juga ditulis proyek kodifikasi melalui RUU KUHP berpotensi mengabaikan Tap MPR, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta UNCAC 2003 yang intinya memuat bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konsisten sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Kemudian KPK sebagai lembaga independen bersifat constitutionally important, harus didukung delik korupsi bersifat khusus yang tidak semua harus diintegrasikan lewat kodifikasi ke dalam RUU KUHP.
"Karakter kekhususan ini disebut KPK untuk beradaptasi dalam merespons kejahatan khas dengan modus, struktur, dan jaringan yang semakin kompleks, cepat berubah, serta terus berkembang," kata Febri.