Sabtu 02 Jun 2018 23:08 WIB

Arteria Nilai Kerugian Korban FT Harus Diselesaikan

Anggota Komisi III menilai majelis hakim hanya melihat dari aspek pidana saja.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.
Foto: DPR
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menyayangkan perspektif majelis hakim Pengadilan Negeri Depok atas putusan kasus penipuan umrah First Travel dengan terdakwa Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan. Ia menilai majelis hakim hanya melihat dari aspek pidana saja.

"Saya menghormati putusan itu walaupun saya menyayangkan perspektif majelis hakim yg hanya melihat dari aspek pidananya saja, tidak melihat restorative justicenya, berupa pemulihan kerugian bagi para korban calon jamaah umrah," ujar Arteria kepada wartawan, Sabtu (2/6)

Arteria menilai, putusan menjelaskan seolah hukum berjalan terpisah dengan sistem nilai yang ada. Padahal kata Arteria, keinginan sejati korban calon jamaah umrah, tidak hanya mempidanakan terdakwa, melainkan yang bersangkutan ingin kepastian apakah mereka dapat berangkat umrah atau dikembalikan uangnya.

Menurutnya, putusan juga belum memberikan kepastian hukum siapa yang sejatinya patut pula dimintakan pertanggungjawaban hukumnya.  Sebab ia menilai, Kementerian Agama juga berperan dalam hal ini.

"Seolah para terdakwa melakukan ini semua seorang diri, bagaimana dengan pertanggungjawaban oknum kementrian agama yang seharusnya bertanggung jawab untuk itu, minimal tidak mengakibatkan jatuhnya banyak korban kalau pengawasan mereka berjalan baik," katanya.

Menurutnya, perlu juga dipikirkan agen dan mitra First Travel yang hingga kini masih diteror dikarenakan turut serta melakukan penipuan. Ini semua lanjut Arteria, juga belum dituntaskan.

Padahal dalam rangkaian pemeriksaan pidana kemarin, hal itu bisa untuk dilakukan pemeriksaan guna mendapatkan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Begitu pun ia mempertanyakan ratio dari penghukuman denda Rp 10 miliar kepada para terdakwa jika dikaitkan dengan penuntasan pengembalian uang jamaah.

"Kok sedikit sekali? Berapa total kerugian calon jamaah umrah? Berapa nilai aset yang disita? Kok bisa timbul angka Rp 10 miliar? Padahal kan pada saat yamg bersamaan Pengadilan niaga juga sudah memproses kepailitannya," kata Politikus PDIP itu.

Karenanya, ia justru menilai lembaga peradilan terkesan berjalan sendiri dan tidak terintegrasi di dalam melakukan pencarian keadilan. "Semua atas nama UU bekerja dengam perspektifnya masing-masing sehingga putusannya jauh dari restorative justice dan keadilan substantif," kata Arteria.

Ia juga mempertanyakan status aset pasca putusan PN Depok yang juga memutus  menyita asset para terdakwa.

"Kalau statusnya sita, itukan tidak bisa dipakai untuk melunasi hutang para terdakwa, karena penyitaan itu untuk kepentingan penyidikan. Kalau statusnya dirampas, itu juga masalah baru, karena perampasan aset obyek tindak pidana itu dimasukkan ke kas negara bukan ke korban calon jamaah umrah," ujar Arteria.

Ia melanjutkan, di pihak lain proses kepailitan sedang berjalan dan mereka juga sedang melakukan penghitungan pailit. Apalagi ada juga pernyataan agar para jamaah korban penipuan biro umrah First Travel dipersilakan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Depok jika ingin uang mereka kembali. Itu karena perkara yang diputus menyidangkan soal perbuatan pidana saja.

"Seandainya dipaksakan dengan mengajukan gugatan perdata, berapa gugatan yg akan dilayangkan? Atau mau pakai Class Action atau citizen Law suit? Itu akan ada permasalahan baru," katanya.

Karenanya ke depan, ia berharap Majelis hakim  juga harus mengedepankan keadilan substantif dan restoratif justice. "Jangan pakai kacamata kuda dan berlindung di kewenangannya berdasarkan UU, dengan alasan takut ultra Petita dan berbuat diluar kewenangan. Kasihan korban calon jamaah umrah, sudah dapat putusan tapi tidak menyelesaikan bahkan berpotensi mengakibatkan permasalahan hukum baru, yang jauh dari upaya penyelesaian," kata Arteria.

Baca juga: Tiga Petinggi First Travel Divonis Diatas 10 Tahun Penjara

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Depok, majelis hakim menyatakan Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan terbukti melakukan penipuan. Majelis hakim menjatuhkan vonis 20 tahun pejara untuk Direktur Utama First Travel Andika Surachman (Andika).

Sang istri yang merupakan Direktur First Travel, Anniesa Hasibuan (Anniesa), divonis 18 tahun penjara. Kedua terdakwa juga didenda Rp 10 miliar, subsider delapan bulan penjara. Sementara itu, Direktur Keuangan First Travel Siti Nuraidah Hasibuan (Kiki) divonis 15 tahun penjara dan wajib membayar denda Rp 5 miliar, subsider lima bulan penjara.

"Ketiganya terbukti bersalah dan sangat menyakinkan telah melakukan perbuatan tindak pidana bersama-sama melakukan penipuan dan pencucian uang secara berlanjut. Yang meringankan ketiga terdakwa, tidak pernah dihukum," ujar ketua majelis hakim Soebandi SH.

Andika dan Anniesa dijerat Pasal 378 KUHP tentang Penipuan juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, serta Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Andika dan Anniesa Hasibuan sebelumnya dituntut oleh jaksa dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar. Sementara itu, Kiki dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.

Kiki terbukti terlibat dalam pembuatan promosi biaya promo umrah murah First Travel, dengan harga Rp 14,3 juta. Akibatnya, banyak calon jamaah yang tergiur dengan promosi itu. Kiki pun divonis melanggar Pasal 378 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement