REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Rahma Sulistya, Gumanti Awaliyah
Kepolisian menghentikan penyelidikan kasus dugaan pelanggaran kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Herry Rudolf Nahak menjelaskan, kasus PSI dihentikan lantaran berdasarkan keterangan yang diungkapkan saksi ahli dan barang bukti gelar perkara membuktikan PSI tidak melakukan tindak pidana.
“Itu kita sudah periksa saksi ahli. Ahlinya antara lain penyelenggara pemilu, kemudian ahli yang memahami tindak pidana pemilu termasuk pemeriksaan saksi-saksi, barbuk yang kita kumpulkan,” ujar Herry saat dikonfirmasi, Jumat (1/6).
Setelah diperiksa beberapa saksi serta saksi ahli, lalu kepolisian juga mengumpulkan barang bukti dan melakukan gelar perkara. Hasilnya, kata Herry, PSI tidak terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
“Setelah kita lakukan gelar perkara, kita simpulkan bahwa itu bukan atau tidak termasuk tindak pidana pemilu,” kata Herry.
Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus PSI sudah dikeluarkan sejak Kamis (31/5). PSI pun sudah menerima surat yang dilayangkan dari kepolisian itu.
Sebelumnya, Bawaslu menyatakan, materi iklan PSI yang dimuat di media pada 23 April 2018 dianggap memenuhi unsur pelanggaran Pemilu. Bawaslu pun kemudian membuat laporan polisi ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran UU Pemilu oleh PSI tersebut.
Ketua Umum PSI Grace Natalie Namun mengapresiasi keputusan Bareskrim Polri yang menerbitkan SP3 atas perkara dugaan kampanye di luar jadwal tersebut. Menurut Grace, SP3 membuktikan Polri telah bertindak secara profesionalisme dan penuh integritas.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Bareskrim Polri yang telah menegakkan keadilan,” kata Grace saat konferensi pers di kantor DPP PSI, Jakarta, Jumat (1/6).
Grace pun mengingatkan bahwa Bawaslu adalah lembaga yang penting dalam demokrasi. Karena itu, keberadaan Bawaslu mesti dikawal agar selalu menghasilkan keputusan dan rekomendasi yang benar dan berkualitas.
“Mutu demokrasi kita, salah satunya, diukur dari kualitas keputusan atau rekomendasi Bawaslu. Jika Bawaslu kurang berkualitas, tentu akan berdampak buruk pada proses demokrasi kita. Ya, perkara ini semestinya menjadi pelajaran kita semua,” ungkap Grace.
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni menilai, ada unsur ketidakadilan sejak awal pelaporan dugaan kampanye di luar jadwal PSI oleh Bawaslu. Karena menurut dia, tidak cukup argumen kasus ini dibawa oleh Bawaslu ke ranah pidana.
"Tapi saya justru melihat 'serangan' ini membuat kader PSI mulai detik ini justru membuat kawan-kawan PSI lebih semangat lagi," kata Juli dalam konferensi pers di Kantor DPP PSI, Jakarta, Jumat (1/6).
Juli menceritakan, dulu secara pribadi dia sempat berkomunikasi dengan Komisioner KPU Hasyim Asyari. Pertemuan tersebut digelar satu hari setelah dia diperiksa di Bareskrim Polri terkait kasus dugaan kampanye iklan di luar jadwal PSI.
Namun dia memastikan, pertemuan tersebut hanya dalam koridor diskusi biasa karena menurut Juli, Hasyim adalah Komisioner KPU yang terbuka. "Dan saat itu, Hasyim sendiri juga agak kaget kenapa ini jadi pidana, karena ini maksimum hanya hukuman administratif," kenang Juli.
Hingga kini Juli juga masih mengkaji kemungkinan pencabutan pelaporan Bawaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut dia, keputusan untuk mencabut maupun melanjutkan laporan tersebut masih akan direview dan dikaji lebih lanjut.
Pascapenghentian penyidikan kasus PSI oleh Bareskrim Polri, Juli juga memandang, perlu adanya evaluasi ditubuh Bawaslu. Ini mengingat Bawaslu merupakan lembaga yang penting dalam demokrasi.
Karenanya, menurut Juli, lembaga itu mesti dikawal agar selalu menghasilkan keputusan dan rekomendasi yang benar dan berkualitas.
Bawaslu Kecewa
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, pihaknya kecewa karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikap tidak konsisten dalam memberi keterangan terkait dugaan pelanggaran kampanye di luar jadwal oleh PSI. Keterangan yang berbeda itulah yang dituding membuat Bareskrim Polri menghentikan penyidikan kasus dugaan pelanggaran kampanye PSI.
“Sebagai sesama penyelenggara pemilu, kami kecewa dengan KPU yang memberikan keterangan tidak konsisten antara yang diberikan kepada Bawaslu dan kepada kepolisian,” ujar Ratna.
Keterangan itu merujuk kepada pernyataan yang disampaikan oleh salah satu Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ratna mengungkapkan, ada perbedaan antara pernyataan yang diberikan kepada Bawaslu dengan keterangan yang disampaikan Wahyu kepada penyidik kepolisian.
“Tidak mungkin kepolisian berani menghentikan kasus ini jika ada keterangan yang sama dengan pernyataan kepada kami saat memproses kasus ini di Bawaslu. Dalam gelar perkara tahap ketiga (pemeriksaan di Bareskrim Polri), memang kami melihat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa keterangan yang disampaikan KPU berubah,” jelas Ratna.
Menurut Ratna, pernyataan KPU pada saat pemeriksaan di Bareskrim Polri inilah yang dijadikan dasar untuk menghentikan kasus dugaan pelanggaran kampanye oleh PSI. “Karena KPU yang melaksanakan tahapan kampanye itu,” tuturnya.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan menyatakan, ada perbedaan pertanyaan yang menyebabkan dirinya memberikan pernyataan yang berbeda. “Kalau Bawaslu merasa kecewa, kami hormati pandangan itu. Namun, saya pun tidak menutupi fakta jika memang peraturan KPU (PKPU) soal kampanye Pemilu 2019 belum ada,” ujar Wahyu.
Dia melanjutkan, ada perbedaan pertanyaan yang diajukan oleh Bawaslu dan penyidik Bareskrim Polri. “Karena pertanyaannya berbeda, saya menjawabnya juga berbeda,” tutur Wahyu.
Menurut Wahyu, pertanyaan Bawaslu diajukan pada saat dirinya dimintai keterangan tentang dugaan pelanggaran kampanye PSI. Saat itu, kasus PSI belum memasuki tahapan penyidikan.
“Pertanyaan oleh Bawaslu tidak sampai menyoal tentang keberadaan PKPU kampanye Pemilu 2019,” ungkapnya.
Sebaliknya, saat Bareskrim Polri meminta keterangannya ketika tahapan penyidikan lalu, keberadaan PKPU kampanye Pemilu 2019 ditanyakan oleh penyidik. Pertanyaan seperti itu, kata Wahyu, memiliki banyak konsekuensi pertanyaan lanjutan.
“Jika ternyata PKPU belum ada, kemudian bagaimana aturannya? Standar aturan bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kemudian juga muncul (di Bareskrim),” kata dia. (dian erika nugraheny, Pengolah ed: eh ismail).