Jumat 01 Jun 2018 14:25 WIB

Pak Kades Pun Akhirnya Mencoret Perempuan Buruh Nelayan

Perjuangan perempuan-perempuan Demak mendapatkan hak menjadi nelayan.

Perempuan nelayan sedang melaut.
Foto: priyantono oemar/republika
Perempuan nelayan sedang melaut.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Pertemuan Jumat, 22 Desember 2017, itu sedikit memanas. Kepala Desa Purworejo Ahmad Saifullah Al Asadul Usud akan menguji kemampuan perempuan mengemudikan perahu sendirian dan meminta surat kepemilikan perahu jika mereka benar sebagai nelayan.

‘’Kades Purworejo itu punya definisi sendiri tentang nelayan, sampai mau bangun sistem verifikasi khusus untuk perempuan,’’ ujar Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, setelah pertemuan.

Perempuan nelayan pun keberatan dengan pernyataan Saifullah. ‘’Saya nggak terima disebut sebagai buruh, wong perahu yang kami pakai itu hasil kerja keras bersama suami selama lima tahun kok dibilang buruh,’’ protes Nurhafidoh kepada Kepala Desa.

Nurhafidoh bersama 29 perempuan nelayan di Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejak Mei 2017 telah meminta perubahan status pekerjaan di KTP dari ibu rumah tangga menjadi nelayan. Koordinator lapangan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Demak Uminatus Sholikah yang pontang-panting membantu pengurusannya. Melalui usaha panjang, pada 19 Januari 2018 mereka telah menggenggam KTP-el dengan pekerjaan sebagai nelayan.

Pada Maret, mereka kemudian mengurus kartu nelayan untuk mendapatkan kartu asuransi. Pengurusan kartu nelayan dalam masa transisi sebelum berganti menjadi kartu Pelaku Usaha Kelautan (Kusuka). "Kemarin ke Dinas Kelautan dan Perikanan masih menunggu formulir kartu Kusuka," ujar Uminatus Sholikah, Kamis (8/3).

Untuk mengurus pengakuan itu, sejak Mei 2017 Uminatus Sholikah harus bolak-balik ke kantor desa, ke rumah nelayan, RT/RW, ke kecamatan, ke kabupaten. Ia kumpulkan satu demi satu syarat-syarat yang diperlukan dari setiap nelayan, seperti misalnya surat kesaksian dari tetangga bahwa yang bersangkutan benar-benar melaut.

Ia sempat dituding sebagai calo KTP oleh aparat desa. Nomor telepon selulernya bahkan diblokir Kepala Desa Purworejo. Nomor telepon seluler saya yang saya gunakan untuk mengonfirmasi kepada kepala desa, juga diblokir sebelum mendapat jawaban.

Maka, ketika pada 2017 Kementerian Kelautan Lingkungan Hidup mengeluarkan 500 ribu kartu nelayan, belum ada nama mereka sebagai penerima kartu itu. Kartu nelayan itu berguna untuk mengurus asuransi nelayan. Akibatnya, dari 21.793 perempuan nelayan yang sudah mendapat asuransi nelayan dari PT Jasindo per 5 Januari 2018, nama mereka belum tercantum.

Termasuk belum mencatat Naema Badidi (29 tahun) sebagai peserta asuransi nelayan dan 19 perempuan nelayan di kelompoknya. Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Desa Kobraur, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, itu, bersama 19 anggotanya masih berstatus ibu rumah tangga di KTP-nya.

"Kita semua oleh Bapak Kepala Desa sudah dikasih surat pengantar perempuan nelayan, tapi di kantor kabupaten ada gangguan alat, jadi belum bisa urus pergantian KTP nelayan," ujar Naema kepada saya, Selasa (9/1). Kartu nelayan pun tentu saja belum bisa mereka urus.

Untuk bisa mendapat kartu nelayan, menurut Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Saifuddin, nelayan perlu menunjukkan status pekerjaan sebagai nelayan di KTP. Dengan kartu nelayan, mereka kemudian bisa mengurus asuransi nelayan.

photo
Wakil Ketua PPNI Kendal, Een Parlina dengan lukisan nelayan kendal. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika).

Melaut Bersama Suami

Sejak menikah sembilan tahun lalu, Naema biasa melaut bersama suaminya. Naema akan melaut selama empat malam dalam sepekan, berangkat pukul 22.00 WIT, pulang pukul 03.00 WIT, kemudian menjualnya di pasar di kabupaten yang berjarak 24 km dari desanya. "Perlu dua jam dengan naik ketinting ke pasar kabupaten," ujar Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Kobraur itu.

Tetapi di bulan-bulan ini, ia tak bisa melaut karena sedang musim barat. Musim ini biasanya berlangsung Desember-Maret. Setiap tak bisa melaut membuat Naema kembali dengan kesibukan lamanya sebelum menikah, yaitu mengurus kebun. Ia biasa tanam kasbi (singkong), pisang, dan keladi (umbi). Rabu (10/1) pagi ia berangkat ke pasar untuk menjual hasil kebun dan kerang manis hasil pencarian di perairan pinggir pantai. ‘’Kerang manis dijual Rp 100 ribu per kilogramnya,’’ ujar dia.

Saat tak bisa melaut, perempuan nelayan di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, juga menyibukkan diri dengan dengan kegiatan lain, yaitu mencari bekoko, ubet-ubet, dan kepiting. Bekoko adalah sebutan mereka untuk keong bakau, sedangkan ubet-ubet merupakan sebutan untuk kerang bambu.

"Pernah pas ambil jebakan kepiting ada ularnya, saya digigit sampai dua bulan gak bisa nyari kepiting lagi," ujar Sri Umroh, perempuan nelayan Dukuh Tambak Polo, Desa Purworejo, saat memeriksa jebakan kepiting di hutan bakau di muara di kampungnya, Kamis pagi, 21 Desember 2017. Ular air bakau (white bellied mangrove snake) ini berbisa menengah, pemakan katak dan kepiting kecil, dan biasa bersembunyi di lubang kepiting.

Jika laut sedang tenang, para perempuan nelayan di Tambak Polo juga akan melaut bersama suami. Mereka biasa Shalat Subuh di perahu saat masih di laut. Hal itu sudah mereka lakukan sejak mereka menikah. Tetapi, mereka perlu bersembunyi di perahu ketika berpapasan nelayan lain yang masih berpandangan nyinyir terhadap mereka.

"Di Indonesia Timur, perempuan melaut itu hal biasa," ujar Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Saifuddin, yang baru mengunjungi nelayan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Pandangan nyinyir memang sering mereka dengar: Wong wedok kok miyang. Perempuan kok melaut. Para perempuan yang pergi melaut harus menghadapi stigma dari laki-laki seperti itu, yang menempatkan perempuan hanya pada peran domestik.

Melaut bersama suami sejak menikah di usia 15 tahun, Darwati (33 tahun) memang sering harus sembunyi di perahu ketika berpapasan dengan nelayan dari daerah lain. ‘’Suami saya malu istrinya ikut melaut,’’ ujar Darwati.

Bertahun-tahun itu pula mereka menghadapi hal itu. ‘’Lagi telung tahun iki dianggep biasa,’’ ujar Darwati memberi tahu baru tiga tahun terakhir ini --sejak Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan-- perempuan melaut dianggap biasa.

Darwati juga ikut dalam rombongan perempuan nelayan Purworejo yang sudah tujuh bulan ini menunggu perubahan status pekerjaan di KTP. Bukan karena alat rekam KTP-el yang rusak sehingga mereka belum mendapatkannya, melainkan karena dipersulit kepala desa. ‘’Awalnya, Pak Kepala Desa Purworejo menjawab perlu mempelajari dulu undang-undangnya, tapi ketika ditagih kemudian, jawabnya nunggu Morodemak selesai dulu,’’ ujar Uminatus Sholikah, koordinator lapangan PPNI Demak.

Pengurusan pergantian status perempuan nelayan Desa Morodemak hanya membutuhkan waktu dua pekan. Pada 23 Oktober 2017, dua perempuan nelayan di Morodemak sudah mendapatkan surat keterangan KTP-el yang menyebutkan status pekerjaan mereka nelayan. Maka, Umi pun kemudian menagih lagi janji Kepala Desa Purworejo.

Tetapi, ketika pada 12 Desember 2017 Kepala Desa Purworejo mengeluarkan surat pengantar pengurusan pergantian status pekerjaan, isinya tak sesuai yang diinginkan perempuan nelayan. Surat pengantar itu menyebutkan penggantian pekerjaan dari ibu rumah tangga menjadi buruh nelayan. Dinas Kependudukan tidak mau memprosesnya, sehingga perlu ke Kepala Desa lagi untuk mencoret kata buruh di surat pengantar itu. Kepala Desa menolak permintaan itu.

Apa Kata Pak Kades?

Jumat (22/12/2017) itu, beberapa perempuan nelayan didampingi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyambangi Kepala Desa Purworejo di kantor desa. ‘’Kami sudah memberikan surat pengantar perubahan pada status kependudukan pekerjaan ibu-ibu semua, monggo dilaksanakan sesuai yang ibu-ibu inginkan,’’ kata Kepala Desa Saifullah.

Tentu saja, para perempuan nelayan tidak puas dengan jawaban Kepala Desa. Tetapi, kepala desa tetap pada pendiriannya. ‘’Kami tak pernah menganggap buruh itu sebagai pekerjaan yang hina, kami menganggap buruh itu membantu penangkapan ikan,’’ kata Saifullah.

Saifullah siap membuat surat baru perubahan status menjadi nelayan jika ada edaran yang membenarkan mereka bisa disebut sebagai nelayan. Mereka juga perlu menunjukkan surat kepemilikan perahu. ‘’Kalau perlu saya cek ke lapangan, meminta ibu-ibu melaut sendiri,’’ ujar Saifullah.

Keinginan Saifullah ini tentu dinilai Sekjen PPNI sekaligus Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari Masnuah sebagai hal yang mengada-ada. Surat kepemilikan perahu tentu saja atas nama suami, tidak mencantumkan nama istri. Untuk kegiatan melaut, laki-laki pun bahkan tak bisa melaut sendirian.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Saifuddin menegaskan perempuan yang melaut bersama suami untuk kepemilikan kapal di bawah 10 gross ton juga disebut nelayan. ‘’Kepemilikan kapal 10 gross ton ke bawah yang punya suami, karena istri sehari-hari bersama suami mencari nafkah ke laut disebut nelayan juga, memang wajib kita lindungi,’’ ujar Saifuddin, di kantornya, Senin (8/1).

Menurut Saifuddin, baru 1.108.852 nelayan yang mendapat asuransi nelayan per 5 Januari 2018. Jumlah ini belum mencapai 50 persen dari total nelayan yang tercatat di Kementerian, sebanyak 2.601.638.

Pada 2016, dari rencana 500 ribu kartu asuransi terealisasi 409.498 kartu. Realisasi 2017 tercapai target 500 ribu kartu. Pada 2018 juga ditargetkan 500 ribu kartu asuransi. Kementerian Kelautan dan Perikanan menggandeng PT Jasindo untuk program asuransi nelayan ini.

Premi Rp 175 ribu per nelayan selama setahun ditanggung APBN. Setelah itu, mereka diharap bisa menjadi peserta asuransi mandiri. ‘’Kalau menjadi peserta mandiri, preminya bisa pilih yang lebih murah, lihat paket yang ditawarkan,’’ ujar Saifuddin.

Lima tahun lalu, saat suami Tamrini meninggal karena kecelakaan di laut, asuransi nelayan belum ada. Suaminya mengalami kecelakaan di laut saat melaut sejak pukul 03.00 dini hari –waktu melaut yang diyakini nelayan ada banyak ikan bawal yang bisa ditangkap. Pukul 07.00 WIB diantar nelayan lain pulang dalam keadaan luka di kepala akibat terbentur kapal saat ombak menerjang, dengan anggota tubuh yang tak bisa digerakkan. ‘’Tiga hari kemudian meninggal,’’ ujar Tamrini, ibu mertua Darwati, kepada saya di Tambak Polo.

Pada 2017 sudah ada enam perempuan nelayan yang mendapat manfaat asuransi, meski mereka meninggal dunia tidak karena musibah di laut. Empat dari Jawa Timur, satu dari Riau, dan satu lagi dari Sulawesi Tenggara. Keluarga almarhumah masing-masing mendapat klaim Rp 160 juta.

‘’Ide awal asuransi nelayan ini hanya untuk perlindungan kecelakaan kerja di laut, tetapi Ibu Susi meminta agar perlindungan diperluas, sehingga meninggal dunia alami juga dikover,’’ jelas Saifuddin.

Kartu nelayan tak hanya bermanfaat untuk mengurus kartu asuransi. Kartu nelayan juga bisa digunakan untuk mengakses program pemberdayaan nelayan, permodalan, perluasan akses terhadap iptek dan informasi, dan program peningkatan kompetensi nelayan.

Kerja 17 Jam Sehari

PPNI mencatat, para perempuan yang bekerja di sektor perikanan rata-rata bekerja selama 17 jam per hari. Mereka yang menekuni pekerjaan praproduksi, produksi, dan pascaproduksi hanya mempunyai waktu istirahat sebentar.

Selain bekerja mengurus ikan hasil tangkapan, mereka juga mengurus urusan rumah tangga. Sebelum mengolah ikan hasil tangkapan, mereka harus menyiapkan segala hal di pagi hari, termasuk menyiapkan hal-hal sebelum anak berangkat ke sekolah.

Di luar itu, mereka juga menjadi ujung depan jika suami harus mencari pinjaman. Jika ada tunggakan, pemberi utang menagihnya ke rumah, dan istri yang akan berhadapan dengan mereka ketika suami belum pulang dari melaut.

Hal ini antara lain dialami istri nelayan di Serdang Bedagai, Sumatra Utara, dan Kendal, Jawa Tengah. Di Kendal, untuk mengurangi jerat utang, para istri nelayan membentuk kelompok. Mereka tak hanya mengolah ikan dengan hanya mengeringkan ikan lalu dijual, melainkan juga mengolahnya menjadi panganan, sehingga memiliki nilai tambah.

‘’Coba ikan krispi ini,’’ ujar Wakil Ketua PPNI Kendal Een Parlina. PPNI Kendal mewadahi kelompok-kelompok nelayan di Kendal. Kelompok-kelompok nelayan ini sudah membuat kerupuk ikan, terasi, ikan asin, dan sebagainya.

Gerakan menabung pun dicanangkan, sehingga ketika musim barat tiba, mereka memiliki cadangan dana untuk kebutuhan keluarga. Kebiasaan menabung istri nelayan Lamalera, Nusa Tenggara Timur, layak ditiru. ‘’Meski tidak ikut melaut, perempuan Lamalera diakui laki-laki sebagai pihak yang juga terlibat dalam kehidupan,’’ ujar Ketua Bidang Perlindungan Masyarakat Adat dan Kebudayaan Bahari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bona Beding kepada saya.

Bona Beding memberi kesaksian peran ibunya di Lamalera, yang hingga kini juga masih dilakukan perempuan Lamalera. Mereka memiliki cara berinvestasi sehingga tak mengalami musim paceklik, disiplin menabung, 30-50 persen dari penghasilan. Mereka tahu cara hidup berhemat saat musim melaut tiba dan memikirkan kebutuhan di musim tak bisa melaut.

Mereka menabung gabah, jagung, ikan, dan sebagainya. Mereka memiliki tabungan untuk kebutuhan rutin, kebutuhan bulanan, dan ada juga tabungan untuk kebutuhan menyekolahkan anak. Untuk tabungan ikan bisa berupa dendeng daging paus, kulit paus, dendeng pari manta, dan lainnya, yang bisa bertahan bertahun-tahun lamanya.

Di Serdang Bedagai, para nelayan juga memutuskan menabung untuk bisa lepas dari jerat utang. ‘’Tahap pertama, hasil tabungan dipakai untuk melunasi utang tiga nelayan,’’ ujar Saripah, kepala kantin Koperasi Serba Usaha (KSU) Muara Baimbai Kelurahan Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, kepada saya.

Kini 40 keluarga nelayan di Serdang Bedagai sudah bebas dari jeratan rentenir. Juga sudah banyak yang mempunyai perahu sendiri, yang sebelumnya harus meminjam perahu untuk bisa melaut.

Para istri nelayan juga membentuk kelompok, mengembangkan pengolahan hasil laut dan bakau. Mereka aktif mengelola wisata bakau dan mengolah makanan berbahan dasar bakau. Usaha ini juga bisa ikut membantu para suami mereka lepas dari jeratan rentenir.

photo
Para perempuan nelayan Demak sedang memperlihatkan KTP-el dengan pekerjaan nelayan yang baru mereka dapat, 19 Januari 2018. Foto: PPNI Demak

Dari pengelolaan wisata bakau, mereka bisa mendapatkan penghasilan dari pengunjung. Setiap pengunjung membayar Rp 8.000, Rp 3.000 di antaranya disetor ke kas pemda. Kini biaya masuk sudah menjadi Rp 10 ribu per orang. Tarif mobil Rp 15 ribu, tarif motor Rp 10 ribu.

Mereka mulai menanam bakau pada 2005. Pada 2009 mereka bisa memulai tidak bergantung kepada rentenir ketika mengalami kesulitan. Hal itu terjadi setelah mereka mendapat hasil dari olahan panganan berbahan bakau.

Ketika hutan bakau di kampung mereka rusak, pantai di kampung mereka mengalami abrasi. Abrasi itu membuat kampung mereka kebanjiran dengan ketinggian air mencapai 50 sentimeter setiap ada air pasang.

Bukan usaha mudah ketika mereka memulai menanam bakau. Mereka yang terbiasa menebang bakau keberatan dengan usaha itu. Mereka telah membabat bakau sejak 1990-an untuk dijadikan kayu bakar. Pelan-pelan pendekatan dilakukan dan penanaman bakau terus dilanjutkan. Dua tahun kemudian, banjir tak lagi menerjang kampung mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement