REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asian Games XVIII, pesta olahraga terbesar Asia yang akan digelar di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus 2 September 2018 jangan hanya berhenti sebatas peristiwa olahraga yang berlangsung selama dua pekan. Sebaliknya, event besar yang baru terjadi dua kali di Indonesia di era Presiden Soekarno pada 1962 dan Presiden Jokowi pada 2018 ini, harus dimaknai sebagai peristiwa besar untuk merajut persatuan dan kesatuan bangsa.
''Selain pentas olahraga, di Asian Games juga berlangsung berbagai peristiwa budaya dan teknologi, misalnya pada atraksi pembukaan, penutupan, serta pada proses pembangunan infrastruktur venues-nya,'' ujar Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo dalam diskusi Ikon-Ikon Infrastruktur Asian Games, melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/5).
Ia menekankan, spirit Asian Games IV 1962 yang dibuat Bung Karno saat republik baru berusia 17 tahun, Asian Games bukan sekadar pertandingan olahraga, tapi juga upaya memperkokoh ruang kebangsaan. Dalam Asian Games tercakup perjuangan nasional yakni memperkokoh persatuan nasional dan memupuk jiwa gotong royong serta menjadi forum solidaritas internasional, dengan membentuk persahabatan dan perdamaian dunia.
''Selain itu, Asian Games melahirkan manusia Indonesia baru, yang berani melihat dunia dengan mata terbuka, secara fisik tegas, tapi juga kuat secara mental,'' kata Eko.
Eko menegaskan, rapat terbatas persiapan Asian Games yang hingga kini sudah digelar 11 kali menunjukkan besarnya perhatian Presiden Jokowi pada pesta olahraga Asia ini. Menurut dia, di era Bung Karno, dengan dana sangat terbatas, ia mampu membangun ikon-ikon infrastruktur, yang bahkan masih bisa digunakan pada Asian Games 2018 tahun ini.
Sementara itu, arsitek dan sejarawan Yuke Ardhiani memaparkan beberapa proyek mercusuar yang tercatat sebagai simbol nation pride era Soekarno. Ikon-ikon itu di antaranya Jakarta City Planning, dari Jembatan Semanggi sampai dengan Bundaran Air Mancur HI, Gedung Pola, kompleks Stadion Utama Asian Games, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Tugu Nasional, Wisma Nusantara, Sarinah Departement Store, Planetarium, serta Gedung ex Conefo yang kini menjadi Gedung DPR-MPR.
''Termasuk sejumlah patung realis dan monumen skala kota yang bahkan didanai secara mandiri oleh Soekarno,'' ungkap dosen Teknik Arsitektur Universitas Pancasila itu.
Yuke menjelaskan, ciri visual sebuah monumen antara lain geometrik, spektakuler, phallic geometri, megah, struktural dan menjulang. Ciri khas monumen tinggalan Presiden Soekarno yakni pro bono publico/bangunan fasilitas publik, memiliki beberapa unsur yang mudah dikenali.
"Yaitu, punya ciri superlatif yang melekat padanya, sebagai yang terterbesar, tertinggi, terindah, serta terjaga dari keawetan material penopang keabadian sang bangunan, seperti marmer, beton, stainless steel, dan sebagainya," kata Yuke.
Khusus tentang Stadion Utama Senayan yang kini dikenal sebagai Gelora Bung Karno, Yuke mengungkapkan gagasan arsitektural Soekarno terkait bentuk Gelora Bung Karno sebagai venue Asian Games 1962 yang ikonik.
''Kepada tim arsitek, Presiden Jokowi menegaskan perlu adanya kebaharuan di kawasan GBK. Kini, kawasan cagar budaya yang berpusat pada Sang Monumen ini telah ditetapkan selaku venue utama, sebagai pusat pancaran energi baru dan pemberi semangat ke segenap penjuru Benua Asia dengan Palembang sebagai venue pendampingnya,'' paparnya.