Rabu 30 May 2018 15:35 WIB

UU Antiterorisme Disahkan, Kearifan Lokal Harus Diutamakan

Sifat pengayoman dan kearifan lokal harus diutamakan

Panitia Khusus Revisi Undang-undang Antiterorisme bersamah Pemerintah akhirnya menyepakati Revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Panitia Khusus Revisi Undang-undang Antiterorisme bersamah Pemerintah akhirnya menyepakati Revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang (UU) antiterorisme telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jumat (25/5) lalu. Keberadaan UU Antiterorisme itu dinilai sudah menjadi kebutuhan di tengah ancaman terorisme yang semakin mengglobal. Namun, penanggulangan terorisme harus tetap menjunjung tinggi prinsip kearifan lokal dan pengayoman.

“Harapan kita, dengan adanya UU Antiterorisme, penanganan masalah terorisme di Indonesia harus lebih baik. Para stakeholder yang terkait dalam masalah ini juga harus menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan pengayoman, baik dalam melakukan pencegahan maupun penegakan hukum. Sifat pengayoman dan kearifan lokal harus diutamakan, tidak boleh berlebihan, apalagi overacting,” ujar Praktisi dan Akademisi Hukum Dr Suhardi Somomoeljono, Rabu (30/5)

Menurutnya, keberadaan UU Antiterorisme ini bertujuan untuk mengayomi masyarakat dari segala bentuk tindakan terorisme. Karena itu, seluruh pihak yang terkait juga harus bisa mengemban amanat UU ini agar tidak menimbulkan sikap tidak baik di mata publik. Dengan mengedepankan pengayoman dan kearifan lokal, serta menghormati Hak Azasi Manusia (HAM), ia optimis penanganan terorisme bisa berjalan dengan baik.

Sekarang, lanjut Suhardi, dengan diundangkannya UU Antiterorisme, sekarang tugas pemerintah adalah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam rangka mengisi pasal-pasal yang masih menimbulkan tafsir. Pembuatan PP itu sangat penting agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang terlalu banyak dan bersifat deskrisioner. Apalagi definisi terorisme itu ditambah dengan motif yaitu politik, ideologi, dan gangguan keamanan.

“Ini harus dilakukkan agar jangan sampai keliru memberikan definisi terhadap motif dan persepektif implementatifnya. Harus dirumuskan secara benar, karena kalau salah mengartikulasikan, terutama dalam penegakan hukum tidak mendekati rasionalitas dan tidak masuk akal, akan jauh dari harapan masyarakat,” jelas Suhardi Somomoeljono.

Terkait deradikalisasi, Suhardi menilai apa yang telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bagus. Faktanya, cara-cara pendekatan lunak (soft approach) BNPT bisa meredam dan meyakinkan para mantan narapidana terorisme (napiter) agar sadar dan kembali ke UUD ’45. Sekarang, tinggal bagaimana menselaraskan program-program yang sudah bagus itu dengan UU Antiterorisme yang baru disahkan.

Ia mencontohkan proses deradikalisasi Umar Patek, yang dulu merupakan teroris internasional yang pernah diburu Amerika Serikat, bahkan kepalanya pernah dihargai Rp.5 miliar. Menurut Suhardi, langkah pemerintah, dalam hal ini BNPT, Densus 88, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta tokoh-tokoh agama, sudah bagus. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement