Rabu 30 May 2018 16:04 WIB

Komisi XI DPR Pertanyakan Audit BLBI BPK

Ketika BPPN tutup, hak tagih Rp 4,8 triliun diserahkan kepada menteri keuangan.

Rep: Ali Mansur/ Red: EH Ismail
Sidang Eksepsi. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung    menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Sidang Eksepsi. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Chaerul Saleh menyatakan keheranannya terhadap dua hasil audit yang berbeda yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Menurut Chaerul, audit tersebut berbeda hasilnya dengan audit BPK sebelumnya yang keluar pada 2006. Audit 2006 menyatakan tidak ada unsur kerugian negara dalam menilai kerja BPPN yang dibubarkan pada 2004.

“Ini ada apa? Kok lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik mau percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel?” ujar politikus Partai Gerindra dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/5).

Chaerul menganggap ada permasalahan serius terkait hasil audit yang berbeda tersebut, yakni soal kredibilitas lembaga negara yang mempunyai pertanggungjawaban publik. Oleh karena itu, Chaerul berjanji bakal mempertanyakan hal tersebut dalam rapat dengan BPK. Dia akan mencari tahu hal yang menjadi dasar bagi BPK melakukan audit investigatif. Apalagi, audit kedua pada 2017 dilakukan tanpa adanya audite atau terperiksa yang menjadi objek audit.

“Kalau bahan-bahan yang digunakan sekunder bukan data primer, maka patut dipertanyakan hasil auditnya,” tegas Saleh

Pakar hukum Margarito Kamis juga menyoroti proses dan hasil audit BPK. Dalam pandangannya, audit tersebut terkesan hanya menghitung selisih angka penjualan untuk menentukan adanya unsur kerugian negara.

Menurut Margarito, hal yang terpenting dalam audit investigatif adalah soal bahan atau material yang digunakan dalam melakukan audit. “Semua itu harus diperiksa, dari mulai dokumen, surat-surat, laporan-laporan. Itu yang mesti dicek. Jangan cuma menghitung selisih, itu bukan kesimpulan namanya,” kata Margarito.

Selain itu, Margarito juga mempertanyakan penerapan prinsip-prinsip ketaatan dalam mengikuti panduan yang diterbitkan oleh BPK. Sebab, ada panduan audit yang harus diikuti oleh auditor yang menjadi payung hukum, yakni peraturan BPK nomor 1 tahun 2017. Dalam peraturan tersebut dikatakan, suatu laporan audit harus menggunakan data-data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (audite). Kemudian, kalau data-data yang digunakan dalam mengaudit tidak valid, maka hasilnya juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka.

“Kesimpulan dari data yang tidak valid akan sangat fatal akibatnya. Kalau datanya tidak valid, maka hasilnya pun tidak valid, kesimpulanya juga tidak valid,” tutur Margarito. Hasil audit yang tidak valid tersebut, kata dia, juga tidak bisa digunakan untuk memperkuat dakwaan terhadap Syafruddin Temenggung.

Dalam fakta persidangan, pada Agustus 2017 BPK telah menyampaikan potensi penghitungan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun. Penghitungan oleh BPK dilakukan pada 2017, sedangkan sebelumnya BPPN telah dilakukan audit lengkap oleh BPK pada 2006 dan tidak ditemukan adanya potensi kerugian negara.

Adanya temuan BPK 2017 terjadi karena hak tagih Rp 4,8 triliun telah dijual oleh menteri keuangan/PPA pada 2017 sebesar Rp 220 miliar. BPK hanya sekadar menghitung selisih dalam audit investigatif.

Tim kuasa hukum Syafruddin Temenggung, Ahmad Yani menyampaikan, kalaupun ada potensi kerugian negara, maka penjual hak tagih bukanlah ketua BPPN Syafruddin Temenggung, tetapi menteri keuangan dan PT PPA. Sebab, waktu penjualan dilakukan setelah BPPN tutup pada 2004.

“Ketika BPPN tutup, hak tagih sebesar Rp 4,8 triliun masih utuh diserahkan kepada menteri keuangan. Kalau misalnya penjualannya oleh Kementerian Keuangan pada 2007 tidak sebesar Rp 220 miliar, misalnya Rp 1 triliun, mungkin hitungan kerugian negaranya juga berbeda,” jelas Ahmad Yani.

Karena itu, mengenai potensi kerugian negara, Ahmad Yani yakin subjek hukum dan tempus delicti tidak terkait dengan Syafruddin Temenggung.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres tersebut dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI. Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement