Ahad 27 May 2018 13:00 WIB

Jangan Anggap Enteng #2019GantiPresiden

Tagar ini merupakan strategi komunikasi yang sangat efektif

Esthi Maharani
Foto: doc pribadi
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Esthi Maharani*

 Meski belum memasuki tahun politik, tetapi riak-riaknya sudah mulai terasa sejak awal tahun 2018. Yang paling kencang berhembus adalah tanda pagar (tagar) atau hastag #2019GantiPresiden. Kampanye #2019GantiPresiden bisa dibilang gerakan resmi dari kubu oposisi.

Siapa sangka, #2019GantiPresiden menjadi gelombang besar yang menyasar ke berbagai lini, termasuk produksi merchandise yang massif seperti kaos dan topi. Sebagai partner, Partai Gerindra pun menyambut gerakan tersebut. Gerindra ikut mereproduksi #2019GantiPresiden dengan berbagai cara. Terakhir dengan menyelipkannya di debat Calon Gubernur Jawa Barat lewat pasangan nomor urut 3.

Kampanye #2019GantiPresiden ini relative massif berhembus dengan berbagai bentuk. Kampanye ini juga memperlihatkan adanya keinginan sebagian masyarakat untuk melihat apakah ada kemungkinan sosok lain yang bisa dijadikan pesaing calon pertahanan, Joko Widodo di 2019. Hal inilah yang menjadi salah satu kelemahan kampanye #2019GantiPresiden. Kubu oposisi belum benar-benar berhasil menawarkan sosok baru. Yang ditawarkan masih stok yang sama dan lama.

Kelemahan lainnya adalah kampanye itu tidak akan efektif apabila hanya berputar-putar di masa pendukung oposisi yakni PKS dan Partai Gerindra. Gerakan tersebut jadi terlihat sebagai konsolidasi kekuatan oposisi yang eksklusif milik PKS dan Gerindra tanpa dibarengi dengan upaya lain untuk membidik dan menggaet para pemilih pemula dan swing voters. Apabila isu itu masih terasa eksklusif, keterikatan dan jarak antara oposisi dan pemilih baru serta swing voters akan semakin jauh. Efeknya, gerakan ini bisa tidak bertahan lama sampai pemilihan presiden digelar pada 2019.

Meski gerakan #2019GantiPresiden premature dan memiliki kelemahan, tetapi, jangan sekali pun menganggap enteng gelombang yang diprakarsai oleh oposisi. Jangan pernah mengatakan,”Tak mungkin kaos oblong bisa mengganti presiden.” Jangan juga bilang, “Kami tak takut dengan tagar 2019 ganti presiden’. Dalam waktu 1,5 tahun, segala hal bisa terjadi dalam dunia politik.

Kekuatan oposisi di Indonesia tak bisa dianggap remeh. Kekuatan oposisi secara kelembagaan memang masih belum terlalu kuat, tetapi kekuatan perlawanan di luar parlemen, oposisi di Indonesia nampak begitu kuat karena telah berhasil mendorong proses demokratisasi (Uhlin 1998: 156). Kekuatan oposisi memang tidak nampak nyata dan mengambil peran yang signifikan di parlemen, tetapi sebagai kekuatan politik mereka tetap ada walau tersebar di luar parlemen dan nyata sebagai kelompok penekan.

Tagar yang diprakarsai oposisi sudah menjadi sebuah gerakan kampanye sosial lewat  strategi  word of mouth (WoM). Sebuah strategi komunikasi yang dinilai kalangan public relations (PR) sebagai metode kampanye yang efektif dan efesien. Ditambah dengan tumbuhnya aspirasi untuk hadirnya figur baru hasil Pilpres 2019 mendatang. WoM menjadi efektif dan efesien, karena pesan komunikasi disampaikan dari mulut ke mulut, direkomendasikan kepada antar teman, keluarga, tokoh, yang dalam komunikasi, mampu mempengaruhi sikap personal.

 Indonesia memang masih belajar tentang keberadaan oposisi. Apalagi sebagai negara yang menganut sistem presidential, keberadaan oposisi dianggap sebagai sesuatu yang tak lazim. Bahkan ada pula anggapan bahwa partai oposisi tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah karena partai oposisi tidak dikenal dalam sejarah perpolitikan nasional (Thohari, 2010).

Tetapi, oposisi merupakan sebuah keniscayaan jika demokrasi dapat bekerja dengan baik di suatu negara. Para teoretisi demokrasi dengan jelas menunjukkan pentingnya peran partai politik sebagai oposisi. Sebagai contoh, Fanni Mandak dan Peter Smuk (2012: 1) mengemukakan bahwa “the rol played by parliamentary oppositions is one of the most essential factors of modern democracies.”

Sementara itu, dalam kaitannya dengan hubungan antara pemegang kekuasaan dan oposisi, Salvatore Valitutti menyatakan bahwa “the democracy breathes by two lungs, by the lung of the majority and the lung of the opposition.” (dalam Mandak dan Smuk 2012: 1). Selanjutnya, Robert A. Dahl (1965: 332) menegaskan bahwa ”...a political party is the most visible manifestation and surely one of the most effective forms of opposition in democratic country,...”

Dengan kata lain, oposisi merupakan keharusan dalam negara demokratis dan kekuatannya tak bisa dianggap remeh. Meski demikian, keberadaannya jangan pula direspons secara berlebihan dan reaksioner apalagi sampai ketakutan dan menghalalkan segala cara agar tetap berkuasa.

Oposisi dan kampanye serta gerakan-gerakan yang dilakukannya adalah sebuah proses pendewasaan dan pematangan demokrasi di Indonesia. Dalam politik, persaingan dan kompetisi itu wajar. Dalam politik, upaya-upaya untuk merebut kekuasaan juga dihalalkan.

Sekarang, tinggal pemerintah apakah mampu membuktikan keberadaan oposisi tidak mengganggu kinerja dan mempertahankan kekuasaan untuk lima tahun ke depan dengan cara-cara yang jujur dan adil? Bisakah pemerintah bersaing dan berkompetisi secara sehat dengan oposisi?

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement